Tenda Biru, begitu orang-orang menyebut toko sembako itu. Mereka menyebutnya bergitu dengan alasan sederha, karena di depan kios tersebut terdapat tenda dengan atap terpal biru untuk menampung barang jualan yang tak muat di dalam. Padahal toko itu punya nama resmi, Toko Harapan, namun Tenda Biru lebih populer dan paling diingat orang. Tenda Biru berada di kawasan pertokoan di Jalan Poris Indah, berdiri di antara toko eletronik dan sebuah kios penjual bakso. Toko sembako itu dimiliki oleh pria bernama asli Ceng Tjan yang belakangan berganti nama menjadi Tjandra.
Setelah orang tuanya meninggal, Tjanda tinggal bersama paman dan bibinya di daerah Pasar Lama, Kota Tangerang. Dia membantu berjualan sembako dan bertemu Sintia. Mereka kemudian saling jatuh cinta dan menikah. Di satu malam keduanya bersepakat untuk menjual rumah peninggalan orang tua Tjandra di Poris, lalu memulai usaha sembako tak jauh dari rumah itu. Ditambah modal dari orang tua Sintia, mereka kemudian membeli kios di pertokoan di Jalan Poris Indah. Selain menjadi tempat usaha, toko tersebut juga menjadi tempat tinggal mereka.
Mulanya hanya Tjandra dan istrinya, Sintia, yang mengurus toko itu, tapi kemudian kios sembako tersebut menjadi lebih ramai, maka mereka membayar Sapto untuk membantu mengurusnya. Ketika Sintia mengandung, Tjanda mempekerjakan pegawai lain, perempuan bernama Sulis, yang kelak menjadi istri Sapto.
Soe Paldi Tjandra, Sintia dan suami bersepakat untuk menamai anak pertama mereka. Sejak bayi Soe sudah dibiarkan berkeliaran di area toko di bawah pengawasan Sulis. Ya, setelah Sintia melahirkan dan bisa kembali beraktivitas berat, Sulis tak diberhentikan, tapi berganti tugas menjadi pengasuh sambil sesekali membantu Sulis merapikan barang.
Sulis tak masalah, dia malah lebih senang sekarang, karena hadirnya Soe. Kesenangan itu terus berlanjut sampai Sulis menikah dengan Sapto, kemudian memiliki anak bernama Heriyadi, yang usianya terpaut tiga tahun dari Soe.
Meski sejak kecil Soe akrab dengan setiap sudut Tenda Biru, dan papanya sering mencekokinya dengan cita-cita sekolah tinggi dan jadi pengusaha sukses, Soe sejatinya tak pernah tertarik. Soe lebih senang mendengar radio. Soe kecil kagum, bagaimana bisa suara-suara itu dapat keluar dari benda berbentuk tabung tersebut. Saat Sintia atau Sulis memberitahunya, dia manggut-manggut, namun ketika Tjanda memintanya ikut menghitung telur di keranjang, dia langsung berpaling pergi sambil berkata, “Koko bukan anak kecil, Pa. Udah kelas dua. Kalo Yadi pasti senang, karena dia belum ngerti.”
Setelahnya Tjandra akan melongo lalu berkata, “Tapi, kan, tetap aja kecil ya, Ma?”
Sintia menggeleng, disusul Sulis yang tertawa.
“Kamu mending punya anak lagi deh, Ma. Biar Papa bisa ajak itung telur,” ucap Tjandra berikutnya.
“Kasihan sekali anakku, Lis, cuma jadi teman papanya ngitung telur.” Sintia menjawab sambil melirik Sulis di sampingnya yang sedang menimbang gula.
“Gapapa, Ci. Kasihan Ko Tjandra udah enggak ada mainan.”
“Kalo butuh mainan bisa beli di pasar, Lis. Kamu gimana, sih.”
Sulis terkekeh.
—
Sepulang sekolah, seperti hari-hari biasa Soe berada di area jualan untuk menemani menjaga toko sambil mengerjakan PR. Belakangan dia juga gemar mengerjakan PR sambil menonton televisi yang belum lama ini dibeli Papa dan ditaruh di dekat meja kasir. Sebelum memindah siaran ke acara kartun Tom & Jerry dan Scooby Doo yang tayang sore nanti, Soe akan lebih dulu mendengar siaran berita nasional Buletin Siang, dilanjut dengan Kuis Apa Ini Apa Itu? di saluran yang sama.