I WANT TO DIE, BUT I HAVE TO PAY BILLS

Rizky Kurniawan
Chapter #4

EMPAT

Matanya terasa sangat berat. Begitu masuk kamar, Soe langsung merebahkan diri di kasur. Dia bahkan tak sempat mengunci pintu semana biasa. Ketika melayani pembeli Soe berusaha menahan kantuk, berupaya memberi takaran yang tepat, agar racikan minumannya tetap sesuai standar operasional. Soe tidak ingin dirinya viral karena minuman kemanisan atau bahkan kurang manis, belakangan hal-hal seperti itu sering terjadi.

Saat hendak memejamkan mata, ponselnya kembali bergetar. Rasanya berat untuk mengangkat panggilan itu, tapi karena yang tertera adalah nomor Mama, Soe mau tak mau mengangkatnya. Ada jeda sampai Soe benar-benar menggeser tanda penerima panggilan. Soe sebenarnya ragu, dia akan menjawab apa ketika mamanya bertanya perihal uang tadi pagi. Soe sudah berhitung, uangnya tidak cukup. Uang di rekeningnya hanya cukup untuk membayar tagihan miliknya yang jatuh tempo hari ini, dan uang makan seminggu ke depan—yang jumlahnya kurang dari tagihan kulkas yang mamanya pinta.

Soe memijat kepalanya beberapa kali sebelum mengangkat panggilan itu.

“Ko, gimana sih, Mama telpon enggak angkat-angkat, kirim pesan juga enggak dibaca.” Kalimat perempuan bernama Sintia itu langsung menyerbu telinga Soe.

“Maaf, Ma. Handphone Koko di loker. Ini baru pulang,” katanya.

“Jangan gitu, Ko. Kalau ada hal-hal penting gimana? Kalau Mama sama adekmu kenapa-kenapa gimana? Hape itu harus ditaruh dikantong!”

“Iya, Ma. Maaf, lupa banget. Koko buru-buru banget, kasihan di kasir udah antre. Enggak enak kalo lama-lama.”

“Yaitu, jangan begadang makanya. Telat kan, bukan cuma Koko yang repot.”

“Iya, Ma,” balas Soe lemas. Dia diam sejenak, mengabil napas panjang. Setelah dua helaan napas, Soe mulai berkata lagi, “Ma, soal uang kulkas—”

“Enggak usah. Yang terakhir itu Mama mau kasih tahu koko kalau enggak perlu kirim uangnya. Soalnya duit Mama di Bu Kokom udah dibayar.”

Soe bernapas lega. “Oh, oke, Ma.”

“Tapi Soe ….” Mamanya berkata lagi.

Baru saja Soe gembira dapat kabar tidak jadi membayar cicilan kulkas, sekarang Soe lebih was-was mendengar dua kata barusan. Perasaannya makin tidak enak.

“Leo kan mau lulus, nanti bantuin Mama buat bayar kelulusannya, ya. Itu udah jalan-jalan segala macam. Lima juta.”

Sungguh, tak ada jawaban lain di kepalanya selain kata ‘iya’. Jika saat-saat seperti ini tiba, dia ingin papanya ada di tengah keluarganya sekarang. Soe merasa beban di pundaknya terlampau berat.

“Soe?”

Soe terkesiap, suara itu menyadarkannya lagi. “Iya, Ma. Bisa.”

“Maaf ya, Ko. Katering enggak lagi ramai, cuma sesekali aja. Makanya Mama minta bantuan Koko lagi.”

“Iya, Ma.”

“Terima kasih ya, Ko. Udah bantu keuangan Mama di rumah, kuliahkan Mey, sekolahkan Leo.”

“Iya, Ma.”

“Terima kasih udah selalu kuat jadi Koko yang baik buat Mama, buat adik-adik.”

“Iya, Ma.” Tak kuasa, Soe menteskan air matanya.

“Andai Papa masih ada.”

“Iya, Ma.” Air mata Soe makin deras, dadanya sesak bukan main.

“Oiya, Koko kapan pulang? Udah lewat dari sebulan lho, Koko belum pulang.”

Soe tak lekas menjawab. Dia menjauhkan ponsel dari telinganya supaya Mama tak mendengarnya jika terisak. Soe menyeka air mata dengan lengan bajunya. Dia menarik napas panjang, membiarkan udara memenuhi paru-parunya.

“Nanti ya, Ma. Koko belum sempat.”

“Kamu, Ko… kayak jauh saja Jakarta ke Tangerang.”

“Iya, Ma. Koko kadang harus gantiin sif teman. Kalo libur pun keburu capek bawa motor buat pulang.”

Lihat selengkapnya