I WANT TO DIE, BUT I HAVE TO PAY BILLS

Rizky Kurniawan
Chapter #6

ENAM

Nali, hanya sedikit orang yang memanggilnya begitu. Soe satu di antara sedikit orang yang memanggilnya dengan sebutan itu, sementara di rumah, hanya mendiang mamanya yang memanggil gadis itu Nali, sedangkan papa dan keluarganya yang lain memanggil dengan nama depannya, Natali, atau kadang ada yang menyapanya Lia. Nama Nali lahir karena Natalia Tan kecil iri dengan nama temannya yang hanya terdiri satu atau dua suku kata, maka mamanya mengusulkan memanggilnya Nali, gadis kecil itu senang bukan main.

Soe selalu mengingat bagaimana teman sekelasnya di SD Strada itu tiba-tiba datang dan mengenalkan diri sebagai Nali, bukan Natali seperti hari-hari sebelumnya. Selain bicara di muka kelas, Nali juga berjalan dari meja ke meja dan mengenalkan dirinya yang baru. “Hai, sekarang namaku Nali,” ucapnya di hadapan Soe waktu itu. Lebih jauh, melihat Soe kebingungan Nali kemudian menjabat tangan bocah laki-laki kurus di hadapannya. “Jangan lupa!” Nali tersenyum simpul.

Dan ya, sejak saat itu satu kelas memanggil bocah perempuan itu dengan nama Nali.

Ingatan Soe tentang Nali kecil sangat sedikit, sebab di tahun berikutnya, setelah kerusuhan 1998, mereka tidak bertemu lagi. Soe pindah ke utara Tangerang, sedangkan Nali dikabarkan pindah ke luar negeri bersama keluarganya. Yang terakhir Soe ingat adalah, hari pertama di kelas dua, Nali mengenakakan liontin dengan ukiran huruf ‘N’ di bagian depan, dan di belakang terdapat nama kecilnya, Nali. Lagi, saat itu Nali menunjukkan benda yang masih tergantung lehernya itu ke semua teman sekelasnya, dia berjalan dari meja ke meja.

Sepuluh tahun berlalu, Soe secara kebetulan bertemu Nali di sebuah pusat perbelanjaan di Tangerang. Saat itu Soe baru beberapa bulan bekerja di sebuah gerai ponsel. Sebetulnya hari itu jadwal Soe untuk libur, namun karena rekan kerjanya sakit, Soe terpaka harus menggantikannya. Siang, sebelum pamit untuk makan, seorang pelanggan mendatanginya. Soe yang awalnya hendak beranjak, berbalik melayani pelanggan yang datang.

“Saya butuh handphone yang kameranya bagus,” kata lelaki paruh baya itu.

“Ada merek yang dicari, Pak?”

“Apa sajalah. Ini handphone saya tiba-tiba mati,” ucapnya sembari mengetuk-ngetuk ponsel yang sebelumnya dia taruh di atas etalase.”

Soe mengangguk, “Baik, Pak. Tunggu, saya rekomendasikan beberapa, ya.”

Pria itu tak membalas apa-apa.

Soe lekas mengambil beberapa merek ponsel, lalu menjejerkannya di atas etalase. “Ini beberapa yang hasil fotonya bagus, Pak. Ada yang sistem operasinya iOS, Android, dan Windows. Kalau dilihat dari handphone Bapak sebelumnya, Bapak sudah terbiasa pakai Android, ya?”

“Pa, aku cari dari tadi!” Seseorang berseru di belakang pria paruh baya itu.

Soe memperhatikannya, mulai dari memegang bahu, hinggu duduk dengan anggun di samping pria itu.

“Eh, Natali. Tadi kan Papa bilang tunggu aja di toko buku. Papa mau cari handphone.”

Handphone apa?” gadis itu bertanya sembari menatap ponsel yang dijejer. Perempuan yang dipanggil Natali itu kemudian menatap Soe yang terlihat bengong menatapnya. “Kasih papa saya Android aja, Mas. Udah terbiasa soalnya,” katanya pada Soe.

“Mas?” panggil lelaki paruh baya itu, membuyarkan lamunan Soe.

“Eh, i-iya, Pak?” balas Soe terbata.

“Papa saya kasih yang Android aja,” ucap Natali, mengulang perkataannya tadi.

Soe lekas mengangguk, “Baik, Kak. Saya buatkan notanya dulu, ya.”

“Iya,” balasnya. Perempuan itu tidak menggubris Soe lagi. Dia sepenuhnya menatap orang yang dipanggilnya Papa sembari mengangkat ponsel mati milik lelaki tersebut dan bertanya, “Memang mati kenapa sih, handphone-nya?”

“Semalam sempat jatuh, terus Papa coba charge enggak mau masuk.”

Sambil menulis nota, pandangan Soe sesekali menangkap gadis yang duduk di hadapannya. Sejak tiba, sampai dipanggil Natali oleh orang di sampingnya, ingatan Soe seperti masa sepuluh tahun silam, tentang seorang gadis kecil bernama lengkap Natalia Tan yang meminta dirinya dipanggil Nali. Tentu banyak orang bernama Natali, Natalia atau Nali sekalipun, bukan perempuan ini, pikir Soe.

“Kartu SIM-nya mau saya bantu pindahkan se—,” ucapan Soe menggantung. Pikiran tentang banyak orang bernama Natali, Natalia, atau Nali sekalipun… langsung enyah mana kala Soe melihat liontin yang melingkar pada tangan kiri gadis itu. Soe mengenali bandul dengan ukiran nama itu. “Nali?” Soe tak sadar menyebut nama itu.

Gadis yang punya bola mata bulat itu refleks menengok, “Iya?”

Soe terdiam

Pria paruh baya itu juga bingung.

Nali baru tersadar, orang yang memanggilnya begitu hanya mendiang mamanya dan teman-teman di sekolahnya dulu sekali. Gadis itu menelisik lelaki di hadapannya.

Dilihat begitu Soe jadi serba salah. Kalau sudah begini Soe berpikir untuk sekalian saja memastikan perempuan yang menatapnya intens itu betul orang yang dia kenal atau bukan. “Soe, SD Strada,” ucapnya kemudian.

“Soe…,” Nali menyebut lagi nama itu sembari mencari-cari nama tersebut di kantung ingatannya. Tentu, hanya teman-temannya dari SD Strada saja yang memanggilnya dengan sebutan Nali. Tapi, Soe…. “Ah, Soe Paldi Tjandra… yang pengin jadi pembawa berita, kan?”

“I-iya,” balas Soe terbata. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kalian saling kenal?” Papa Nali menyelak.

Nali mengangguk, “Temanku waktu SD. Di Poris.”

Lelaki itu mengangguk, sembari memperhatikan Soe dari ujung kepala. “Kalau kalian saling kenal, saya dapet diskon dong, ya?”

“Papa…,” Nali menyikut bahu ayahnya.

“Maaf banget, Pak. Saya sih penginnya kasih diskon. Tapi ini tokonya bukan punya saya,” balas Soe terkekeh.

Lelaki itu tertawa. “Okelah. Tolong kasih masuk sekalian kartu SIM saya, ya,” katanya.

“Baik, Pak.”

Nali tersenyum sepanjang Soe memasukkan kartu SIM pada ponsel baru itu. Dia membayangkan betapa sudah sangat lama sekali dia tidak berjumpa teman-teman kecilnya. Dan, hari ini Tuhan mempertemukannya lagi dengan Soe Paldi Tjandra, murid kurus yang sering bengong ketika diajak bicara padahal cita-cita anak tersebut pengin jadi pembawa berita.

Di sisi lain Soe juga senang bertemu Nali, meski ujung dari pertemuan hari itu adalah perpisahan. Iya, setelah urusan ponsel selesai, papa Nali beranjak pergi, dan mau tidak mau Nali pun ikut. Soe sadar betul, sangat kecil kemungkinan untuknya bisa bertemu Nali lagi. Namun begitu Soe tidak kecewa, sebab Nali meminta nomor ponsel miliknya sebelum benar-benar pergi. Dari situ kemudian keduanya bisa saling terhubung, bercerita tentang banyak hal—lebih banyak tentang Nali.

Lihat selengkapnya