Tiap kali pulang bekerja, Soe hanya merebahkan diri di kasur sembari memandangi dua cecak yang berlarian di sekitar lampu. Seminggu belakangan hari-harinya terasa berat. Dua minggu lalu, saat dia mengabaikan Nali, dia pikir akan baik-baik saja beberapa waktu ke depan, sampai dirinya bisa berbicara lagi dengan gadis itu, dan keadaan kembali ke sedia kala. Sekarang, yang terjadi sungguh di luar harapan, situasinya sudah berbalik, Nali tidak pernah mengirim pesan atau meneleponnya lagi. Kalau boleh menerka, mungkin ini juga yang dirasakan gadis itu saat Soe mengabaikannya. Dan bodohnya, Soe tidak berusaha memperbaiki itu semua, Soe tidak berani mengirim pesan atau menelepon gadis itu sampai saat ini.
Sebenarnya Soe pernah dua kali mendatangi tempat Nali bekerja di Salemba. Yang pertama, saat Soe melihat Nali di kejauhan pada waktu gadis itu pulang kerja, Soe kesulitan melangkahkan kakinya mendekat. Yang kedua, saat Soe akhirnya memberanikan diri untuk mendatangi gadis tersebut di seberang jalan dan tatapan keduanya bersirobok, Nali lekas membuang wajah, kemudian buru-buru menyetop taksi dan masuk ke dalamnya.
Apakah arti dari semua ini adalah Nali menginginkan kami berpisah?
Soe merasa dirinya seharunya menyadari apa arti pertemuan terakhir mereka, apa pula arti kalimat yang diucapkan Nali sebelum perempuan itu pergi. Iya, Soe sungguh menyadari kesalahannya. Dan, Nali betul, hubungan harusnya soal komunikasi. Lalu tololnya, Soe hanya bersikukuh dengan ego dan ketidakberdayaannya—yang padahal tidak perlu ditekankan pun tentang malang nasibnya orang-orang sudah tahu.
Ya, aku yang sudah mengacaukannya.
Soe pikir, yang mungkin saat ini bisa dia lakukan hanyalah menerima jika Nali benar-benar meninggalkannya.
Namun, apa aku mampu?
Soe menggeleng setelah memikirkannya hingga dua pekan berikutnya.
Aku tidak mampu.
Soe memperhatikan kendaraan yang berjejal melintang di depannya lantaran lampu jalan sudah hijau. Sekali lagi Soe memikirkan Nali, kemudian teringat mendiang papanya. Lihat Pa, Soe tumbuh jadi pecundang. Menikahi perempuan yang dicintainya tidak mampu, ditinggalkan juga tidak mau.
Kendaraan di belakang mengklaksonnya beberapa kali, Soe baru menyadari kalau lampu jalan di atas kepalanya sudah berwarna hijau. Soe melaju. Sore ini dia akan pulang ke rumah. Mamanya sudah menanyakan berkali-kali, “Kapan pulang?” dan Soe selalu menjawab, “Nanti dulu.” Tak tahan dengan tiga sepi sekaligus—di kamar kos, di kepala, dan di hati—yang mendera, Soe akhirnya memutuskan untuk pulang. Harapannya, dengan menengok mama dan kedua adiknya di rumah, Soe bisa mengisi kekosongan itu, mengenyahkan gundahnya.
Setelah melewati jalan utama, Soe berbelok ke utara hingga bertemu jalan kecil dengan papan nama di depannya, Pondok Bahagia, yang dulu sekali, saat Soe dan keluarganya baru pindah, daerah kecil itu dinamai Kampung Cina. Tjandra selalu bilang tempat itu aman untuk menampung mereka.
Berbeda dengan wilayah kampung sebelah yang berubah pesat, Pondok Bahagia terlihat begitu-begitu saja sejak dulu, disembunyikan pohon-pohon besar dan rindang. Soe merasa yang berubah hanya pada bangunan Vihara yang sudah direnovasi dan sebuah panti asuhan berdiri tepat di tengah-tengah kampung. Rumah keluarga Soe berada lebih jauh sedikit di belakang panti, berdampingan dengan sungai kecil yang jadi pemisah Pondok Bahagia dengan kampung sebelah.
Saat Soe tiba, Sintia sedang melipat pakaian di beranda. Perempuan itu melihat ke arah Soe lalu tersenyum.
Setelah Soe melepas helm, Soe dapat dengan jelas memandang wajah perempuan itu. Sudah dua puluh tahun waktu berlalu sejak mereka masih tinggal di Tenda Biru, paras perempuan itu tak banyak berubah. Yang paling kentara perubahannya mungkin hanya pada kerutan di mata dan helai-helai rambutnya yang memutih di beberapa bagian. Dari perempuan itu, pandangan Soe berpindah ke rumah tinggal mereka sejak dua puluh tahun lalu, rumah itu juga sudah terlihat tua. Seingat Soe, sejak kepindahan mereka ke tempat itu, sama sekali rumah tersebut tak pernah disentuh renovasi. Satu-satunya perubahan yang pernah dilakukan, hanyalah mengganti kloset jongkok dengan model duduk saat Mama mengandung Leo. Soe terenyuh mengingat dirinya dan Meylian selalu berebut ke kakus di pagi hari, hal itu terus terjadi hingga hari ini—meski bukan dirinya lagi yang berebut dengan adik perempuannya, melainkan antara Meylian dan Leo—mengingat kamar mandi di rumah itu hanya ada satu.
Ketika Soe melangkah mamanya menyambut di beranda dengan tangan terbuka. Perempuan itu menghambur memeluk anak lelakinya yang sudah lama dia tidak temui. “Akhirnya, anak Mama pulang juga,” katanya sambil mengusap-usap punggung Soe. “Mama hampir mikir kalau anak Mama beneran jadi Bang Toyib karena enggak pulang-pulang,” tambahnya lagi.
“Gimana kabarnya, Ma?”
Sintia melepas pelukannya. Sambil tetap memegang kedua lengan atas Soe, perempuan itu menjawab, “Mama baik.” Dia kemudian menelisik anak pertamanya, matanya berhenti di kelopak mata Soe yang menghitam. “Koko yang lagi enggak baik, nih.”
Soe menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ayo, masuk. Koko pulang enggak bilang-bilang sih, untung Mama tadi beli ayam agak lebih. Ayo makan, Mama gorengin ayam,” ujar Sintia sembari menggiring Soe ke dalam. “Koko belum makan, kan?”