Pagi itu sebenarnya pagi yang biasa saja. Tenda Biru buka seperti hari-hari sebelumnya; Tjandra berjaga di meja kasir sambil menyiapkan pembukuan untuk hari itu; Sapto sedang menimbang tepung; Sulis mengantar Soe ke sekolah; sementara Sintia masih sibuk menyusui di lantai atas—Sinta baru kemarin sore dipulangkan dari klinik tempatnya melahirkan.
Menjelang siang, Tjandra merasa tak tenang. Dia terlihat gelisah lantaran pada hari itu sedikit sekali pembeli yang datang.
“Karena lagi nonton teve kalik, Ko. Itu mahasiswa pada demo lagi di Jakarta.”
Tjandra mengangguk tanpa bicara. Sejak tadi pun televisi tabung di sampingnya sedang menayangkan liputan demo mahasiswa Universitas Trisakti yang menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Soe ikut bergabung menonton liputan berita tersebut setelah pulang sekolah sambil makan siang. Tjandra sebenarnya heran dengan anak lelakinya itu, dia merasa Soe terobsesi dengan siaran berita. Padahal, Tjandra merencanakan untuk menyekolahkan Soe ke sekolah bisnis, kalau perlu sampai ke luar negeri.
“Soe, kalau sudah besar mau jadi apa?” Tjandra bertanya waktu itu.
Soe berhenti mengunyah, lalu memandang papanya. Dia menggeleng.
Tjandra tersenyum. “Ini,” katanya sembari membentangkan tangannya ke atas, lalu ke samping, menyapu tiap sudut toko itu, “ini toko untuk kamu rawat dan besarkan nanti Soe. Kamu mau sekolah ke luar negeri? Ke Australi, mau? Belajar di sana, setelah pulang, buat besar toko kita. Buat sukses usaha ini.”
Soe tak merespons, dia memilih menyuap kembali makan siangnya sambil menonton siaran berita demo mahasiswa Universitas Trisakti yang dihalang aparat keamanan saat menuju Gedung DPR/MPR.
“Sabar, Ko. Masih kecil,” kata Sapto yang kini sedang menimbang gula. “Entar udah gedean, diajak ngomong lagi udah pasti ngerti, itu,” tambahnya.
Tjandra melengos, dengan kemoceng di tangan dia membersihkan rak dari debu.
Menjelang sore, Soe merasa siaran berita makin banyak dan makin intens meliput demo mahasiswa Trisakti. Setelah didengarkan secara saksama, Soe baru paham kalau ada mahasiswa yang meninggal karena tembakan senjata.
Mendengar itu Tjandra dan Sapto ikut bergabung bersama Soe untuk menyaksikan siaran berita sore itu. Lewat layar monitor empat belas inci tersebut, mereka melihat dan menyadari bahwa situasi di Jakarta makin mencekam.
Sapto pulang tak lama kemudian karena sudah hampir magrib, dan toko sudah tutup. Dia sebenarnya masih ingin menyaksikan berita dari layar tabung itu. Tapi Sulis menyuruhnya pulang, dengan terpaksa Sapto menurut.
Tjandra pun menyuruh Soe mematikan teve dan lekas makan tak lama setelah kepulangan Sapto. Soe sebenarnya enggan, tapi dimatikannya juga layar teve itu. Sepanjang makan sampai pergi tidur, Soe masih memikirkan potongan-potongan gambar pada tayangan berita tadi. Aksi yang awalnya kelihatan damai, berubah mencekam dalam sekejap, suara sirine di mana-mana, orang-orang berlarian dengan panik sambil berteriak ketakutan. Meski kesulitan memejamkan mata karena terus saja memikirkan hal tersebut, Soe akhirnya terlelap juga.
Soe pun bermimpi. Di dalam mimpinya, datang sepeda motor Rx King dari kejauhan dan berhenti tepat di depan Tenda Biru. Terlihat dua orang yang menaiki sepeda motor bersuara nyaring itu, Soe taksir keduanya lelaki. Soe tak bisa menebak umur kedua lelaki itu, wajahnya pun tak terlihat, lantaran mengenakan helm. Bocah itu terus memperhatikan saat salah seorang di antaranya turun dari boncengan. Selain berhelm, orang itu mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Lebih lanjut, lelaki itu merogoh jaketnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Soe tidak siap saat lelaki itu dengan seketika melempar benda tersebut ke arahnya. Benda itu meluncur sangat cepat, memecahkan jendela di hadapan Soe. Sialnya, laju benda yang tampak keras tersebut tak berhenti dan terus saja menuju wajah Soe.
Soe terkejut dan seketika bangun dari tidurnya. Bocah itu tambah kaget mana kala dari kamar orang tuanya di bagian depan terdengar jeritan keras. Soe tentu mengenal baik suara itu, Sintia, mamanya. Mengikuti insting, Soe segera berlari ke kamar sebelah. Di sana Sintia sedang menangis syok sambil menggendong Meylian, sementara papanya tengah berusaha menenangkan. Yang dapat Soe lihat berikutnya adalah jendela kamar yang pecah, kaca berserakan di lantai, dan sebuah bata berada di tempat tidur.
“Enggak apa-apa, enggak apa-apa. Tenang, tenang. Nanti Meylian bisa sawan.” Tjandra mengusap punggung istrinya.
Soe bergeming, dia sedang berpikir bagaimana mungkin kejadian itu sama dengan mimpinya barusan? Soe melihat jam dinding di kamar itu, baru pukul dua dini hari. Itu artinya, dia baru tidur satu jam.
Pasca kejadian itu, Sintia meminta untuk berada di ruang tengah lantai dua, yang tak terekspos jendela. Dia masih tidak tenang dan merasa tidak aman. Tjandra mau tak mau menuruti perkataan istrinya itu. Soe ikut pula berada di ruang tengah, dia tidur di kursi. Sama seperti halnya Sintia, Soe juga merasa tidak tenang, makanya dia kembali sulit tertidur. Soe takut mimpi itu kembali lagi dan menjadi kenyataan sama seperti sebelumnya. Namun begitu tubuh kecilnya sudah terasa lelah, matanya terpejam dan tertidur lagi.
Soe dibangunkan suara teve yang sama-samar dia dengar.
Di bawah, Tjandra sedang menyaksikan siaran demonstrasi di Jakarta yang rupanya makin panas. Pasca meninggalnya mahasiswa Universitas Trisakti yang terkonfirmasi pukul delapan malam kemarin, rupanya menyulut kemarahan mahasiwa di berbagai daerah. Mahasiswa dari Jabodetabek bahkan dikabarkan beramai-ramai mendatangi Jakarta untuk menyatakan belasungkawa juga protes atas tindakan aparat yang represif.
Melihat itu Tjandra makin was-was. Begitu pun dengan Sintia, perempuan itu masih syok atas kejadian yang menimpa mereka semalam. Sintia tidak dapat membayangkan jika bata itu menimpa Meylian.
“Ko, ke rumah Mama aja, biar aman,” bujuk Sintia. “Aku masih enggak enak perasaan.”
“Toko gimana, Soe sekolah gimana? Enggak apa-apa, paling orang iseng semalam tuh.”
“Orang iseng enggak mungkin ngebahayain orang lain, Ko.”
“Yaudah, aku antar ke Pasar Lama, habis itu aku balik lagi. Soe sekolah, toko enggak ada yang jaga.”