Karena baru tidur menjelang subuh, Tjandra baru bangun lebih dari pukul delapan pagi. Itu pun dia terbangun karena suara telepon yang terus berdering entah sejak kapan. Di sofa, Soe masih tertidur pulas. Tjandra pikir anak itu juga sama sepertinya, sulit tidur mendengarkan siaran berita sejak malam. Lelaki itu bergegas mengangkat panggilan, ternyata dari Sintia.
“Ko! Dari mana aja, susah dihubungi!” Sintia menghardik.
“Aku baru bangun,” Tjandra menjawab setengah menguap.
“Jangan buka toko!” Sintia berseru.
“Iya ini belum dibuka juga. Ada apa, sih?”
“Ada apa, ada apa. Setel teve. Di mana-mana rusuh. Orang cina pada diincer, toko dijarah,” terang Sintia bergetar. Kemudian perempuan itu menangis.
Tjandra bergeming, samar dia mendengar suara penyiar berita dari teve yang sejak semalam belum dimatikan. Tjandra memelotot kemudian melihat siaran itu. Betul kata Sintia, kerusuhan terjadi di mana-mana. Mobil, motor dibakar. Toko dijarah, kemudian dibakar.
“Sembunyi, Ko!” Sintia terisak. “Soe di mana?”
Tjandra masih mencoba mencerna apa yang dia lihat.
“Ko Tjandra!” Sintia setengah berteriak.
“I-iya,” Tjandra terkesiap.
“Soe di mana?”
“Masih tidur.”
“Ajak sembunyi, jangan keluar.”
“Iya.”
“Sapto, Sulis, ada?”
Tjandra menggeleng. “Mungkin dari tadi mereka sudah datang, tapi karena aku ketiduran bisa jadi mereka pulang lagi.”
“Kalau bisa minta tolong Sapto, Ko.”
“Gimana caranya, kamu bilang jangan keluar.”