I WANT TO DIE, BUT I HAVE TO PAY BILLS

Rizky Kurniawan
Chapter #10

SEPULUH

Mengendarai pikap sewaan, Tjandra membawa keluarganya ke utara Tangerang. Di sana, mereka akan memulai hidup baru. Di sepanjang jalan lelaki itu mengajak ngobrol Soe yang lebih banyak diam sejak kejadian mereka melompat dari ruko. Tjandra sadar, mungkin hal itu akan membekas dan menjadi trauma untuk putra pertamanya tersebut. Makanya, dia berupaya mengalihkan perhatian Soe pada hal-hal yang lebih positif.

“Nanti di sana kita bisa sering-sering ke pantai, Soe. Lumayan dekat dari rumah yang baru. Masih banyak sawah, empang… Soe pasti suka, deh,” ucap Tjandra di balik kemudi.

Soe hanya diam saja, sementara Sintia mengusap kepalanya.

“Sekolah Strada juga ada, tapi kalo Soe mau sekolah negeri biar lebih banyak teman dari macam-macam agama, boleh juga,” lanjut Tjandra tak lepas memandang jalan. Pikap yang dia kendarai melaju di jalan area terluar Bandara Soekarno-Hatta.

“Lihat Ko, banyak pesawat!” Sintia memecah keheningan setelah Tjandra bicara begitu.

Soe melihat ke arah yang ditunjuk Sintia. Dan dia mengingat lagi hari setelah 14 Mei yang mencekam itu.

Tiga hari Soe dan papanya menumpang di rumah Sapto dan Sulis. Agak besar, Soe menyadari kalau kata menumpang sebenarnya kurang cocok. Di rumah itu, lebih tepatnya mereka bersembunyi dari orang-orang yang entah mengapa menjadikan etnis Tionghoa sebagai target kemarahan mereka pada penguasa saat itu karena krisis ekonomi. Selama tiga hari, keduanya mendekam di rumah tersebut. Yang menjadi informan Tjandra atas situasi di luar adalah Sapto seorang. Lewat Sapto juga lelaki itu bertukar pesan dengan istrinya di Pasar Lama melalui wartel. Baru, pada tanggal 17 pagi, Tjandra berani keluar karena Sapto bilang, keadaan sudah cukup aman.

Satu-satunya tempat yang terpikir Tjandra waktu itu adalah Tenda Biru. Dengan Soe, Sapto, Sulis dan putranya Heriyadi, mereka memandang toko tersebut dari depan. Tenda biru yang biasa berdiri di halaman toko sudah menghilang entah ke mana, sementara bangunan di belakangnya masih kokoh meski dalam keadaan memprihatinkan. Tjandra memberanikan diri untuk masuk ke dalam, keadaannya lebih parah lagi. Barang dagangan habis dijarah. Teve, kulkas, telepon rumah, bahkan pakaian yang masih tertinggal di saja juga telah habis digasak.

Tjandra mengambil pigura di dinding, kacanya retak entah karena dilempar apa. Dia kemudian melepas foto itu dari sana—foto yang diambil saat Soe masih bayi. Tjandra menangis tanpa suara.

Sapto yang melihat jadi tidak tega, dia mengusap bahu lelaki itu tanpa berkata apa-apa juga.

Setelah mengunjungi Tenda Biru, Tjandra dan Soe kemudian pamit dan pergi ke Pasar Lama menggunakan taksi.

“Gua pamit dulu ya, To. Titip mobil dulu,” kata Tjandra.

“Balik lagi kan, Ko?”

Tjandra menggeleng. “Enggak tahu kalau keadaanya masih kayak gini, To. Toko juga udah pasti bangkrut.”

Sapto mengangguk. “Kabari saya sama Sulis ya, Ko kalau sudah baik-baik semua.”

Tjandra memikirkan kata-kata Sapto barusan, meski ragu semua akan kembali baik, dia mengangguk.

Di dalam taksi keduanya diam, Tjandra di kursi depan memijat kepala sambil memikirkan entah apa. Sementara Soe di kursi penumpang, bocah itu menatap ke luar. Suasana jalan cukup lengang. Di sepanjang jalan, Soe bisa melihat dampak kerusuhan beberapa hari lalu. Bocah itu pun mengerti, entah berapa banyak orang di luar sana yang nasibnya sama seperti keluarganya.

Di Pasar Lama, Soe dan Tjandra disambut tangis haru oleh Sintia dan keluarga. Di tempat itu, kerusuhan atau penjarahan tidak pecah. Warga sekitar bersepakat untuk menjaga kawasan tersebut dari amuk massa.

Sintia bersyukur bisa lolos dari peristiwa paling kelam dalam perjalanan hidup mereka. Berkali-kali, Sintia memeluk Tjandra dan Soe bergantian. Sementara itu, Tjandra sudah memikirkan bagaimana hidup mereka ke depan, sementara isi Tenda Biru sudah habis tanpa sisa.

“Kita bisa mulai lagi, Ko,” ucap Sintia pada Tjandra yang mengungkap pikirannya malam itu.

“Di tempat itu lagi, apa bisa? Mereka yang rampas isi toko kita bahkan orang-orang aku kenal, yang kamu kenal,” balas Tjandra sambil menangis.

Sintia lekas mengusap bahu suaminya. “Kita cari tempat baru. Jual semua, ditambah tabungan yang aku bawa kemarin itu, rasa-rasanya cukup buat bisa mulai hidup baru. Harus cukup. Kita enggak boleh mati mudah, Ko. Ada anak-anak.

“Tunggu sampai Soe selesai kelas dua, sambil kamu cari tempat buat kita bisa mulai. Mama kasih saran di sekitar sini, tapi tabungan kita enggak akan cukup. Ada kerabat jauh di Utara, kamu bisa ikut Abang buat lihat-lihat. Aku urus anak-anak sementara ini. Jadi, kita bagi tugas, ya?”

Tjandra mengangguk, dan memeluk istrinya.

Dan ya, begitulah kemudian keputusan-keputusan yang mereka pilih untuk melanjutkan hidup. Sementara waktu, mereka perlu menunggu sampai keadaan benar-benar aman, dan uang yang dibutuhkan terkumpul.

Sementara Tjandra mencari orang yang mau membeli Tenda Biru dan Kijang Rover yang berada di kediaman Sapto, Sintia mengurus Soe dan Meylian dibantu mamanya yang sudah lanjut usia. Soe yang belum kembali masuk sekolah lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk belajar bersama Sintia, sembari sesekali mencuri dengar siaran berita di televisi yang ditonton pamannya. Terakhir yang dia dengar, mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR di Senayan.

Lihat selengkapnya