Kalau apa yang terjadi pada papanya disebut sebagai kegagalan dan jika kegagalan itu dapat diwariskan, sungguh Soe tidak mau mewarisinya.
Sudah beberapa bulan berlalu sejak terakhir dia mengunjungi mamanya di utara Tangerang, dia pun menghabiskan waktu malam tahun baru di rumah tersebut. Namun baru di awal tahun, dunia gempar oleh kasus virus di Wuhan, China. Awalnya orang-orang tak acuh dan menjadikan virus tersebut bahan bercanda. Bahkan beberapa pejabat mengeluarkan pernyataan yang terdengar menjengkelkan. Tapi ketika kasus pertama ditemukan di negeri ini, semuanya panik. Barang-barang pokok meroket, susu steril kalengan mendadak langka. Belakangan, malah muncul orang-orang yang menyalahkan China. Mendengar itu, ingatan Soe kembali pada peristiwa Tenda Biru yang terjadi lebih dari dua puluh tahun lalu. Entah, apakah benar virus itu menyebar cepat karena kesalahan negara China atau bukan, yang pasti Soe tak ingin latar belakangnya sebagai etnis Tionghoa kembali menjadi sasaran seperti yang dialaminya dulu.
Beruntung hal itu hanya jadi kekhawatirannya saja. Namun begitu, apa yang terjadi pada Soe setelahnya tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dilalui papanya dulu. Tidak ada uang, dan merasa gagal.
Sejak terdeteksi berada di Indonesia dan berubah menjadi pandemik, banyak hal yang terjadi pada orang-orang termasuk, Soe. Banyak yang di-PHK atau dirumahkan, yang lebih beruntung mereka yang bisa bekerja dari rumah. Soe tidak termasuk yang beruntung itu, karena latar pekerjaannya adalah berjualan. Meski tidak diputus kontrak dari pekerjaannya, Soe dan kawan-kawan harus dirumahkan karena mal tempat mereka bekerja ditutup untuk waktu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Dampak terbesarnya adalah dia tidak bisa membayar tagihan. Apalagi banyak dari tagihannya bersifat baru. Memang ada relaksasi pada waktu itu, tapi itu tidak cukup membantu, karena di samping itu dia pun harus memikirkan pengeluaran rumah.
Puncaknya saat Soe menunggak bayar sampai tiga bulan. Dan selama itu dia harus menerima intimidasi dari perusahaan keuangan tempatnya meminjam. Soe tahu, isi pesan-pesan itu hanya agar nasabah melunasi utang-utangnya. Namun jika kebetulan dia membaca pesan-pesan tersebut, kepalanya berputar-putar juga, dia ketakutan juga.
Pernah satu kali mereka mengancam akan mendatangi kantor tempat Soe bekerja, tapi Soe masa bodoh, toh gerai tempatnya bekerja tutup. Saat mereka mengancam akan mendatangi kos, Soe juga tidak peduli. Soe sudah lama pulang ke rumah karena tak mampu bayar kamar indekos. Sungguh Soe pun ingin melunasi utang-utangnya, tapi keadaan yang memaksa untuk tidak bisa membayar semua.
Bos, jangan lupakan utang. Ke mana pun Anda pergi akan kami kejar. Camkan itu!
Masih tidak digubris juga? Mana itikad baik Anda Bos. Waktu Anda ngutang perusahaan kami kasih, tapi giliran bayar Anda kabur!
Bos, sebaiknya Anda siapkan semua uang. Kami akan datang ke rumah Anda.
Ketemu jam berapa, Bos? Kami sudah dekat rumah Anda. Akan kami permalukan Anda kalau tidak bayar juga.
Bos, kami sudah berkoordinasi dengan ketua RT untuk datang menagih utang-utang Anda. Siapkan dananya. Awas kalau tidak dibayar!
Soe membaca pesan-pesan itu. Meski agak ketakutan, dia mencoba tenang. Yang saat ini dia prioritaskan kesehatan mentalnya. Itu juga sebenarnya yang membuat Soe akhirnya pulang. Awalnya Soe mencoba mencari pekerjaan lain yang bisa dikerjakan dari kamar kosnya, tapi karena kerap diancam akan didatangi bahkan dianiaya, Soe akhirnya memilih pulang. Terlebih Soe juga kerap merasa tertekan dan sering dibayang-bayangi kejadian beberapa bulan lalu, saat dia ingin mencoba mengakhiri hidup dengan gantung diri.
Soe menggeleng keras saat pikiran itu mendatanginya. Aku masih punya banyak utang. Bukan cuma pada perusahaan pinjaman itu tapi juga sama Mama, Papa, dan adek-adek.
Saat hendak menyampaikan keinginannya untuk pulang, induk semangnya berbaik hati dengan memperbolehkan Soe menaruh barang-barangnya di kamar itu jika mau, sebab Soe termasuk sudah lama menyewa kamar, dan si pemilik mengerti keadaan Soe dan banyak penghuni kos lain. Lagi pula, Soe sebenarnya tidak benar-benar diberhentikan, tapi hanya dirumahkan sementara waktu. Nanti jika keadaan sudah membaik, Soe bisa menempati kembali kamar itu.
Soe menerima tawaran tersebut, dan mengucapkan terima kasih sekali atas pengertian dan bantuannya.
“Ko!” Sintia berteriak dari arah luar kamar Leo—beberapa bulan ini Soe harus berbagi kamar dengan Leo.
“Iya, Ma?” Soe menjawab dari kamar. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak, sebab mamanya tidak pernah memanggilnya dengan nada begitu. Ah, atau mungkin Soe lupa. Kalaupun iya Mama pernah berteriak begitu padanya, kejadian itu pasti sudah lama sekali.
“Kamu apa-apaan si, Ko?” tanya Sintia saat Soe membuka pintu kamar.
“Kenapa?”
“Itu kamu punya utang banyak begitu, di pinjol?”
Soe bergeming, Tahu dari mana Mama? pikirnya. Bahkan dia tidak pernah mencantumkan nomor telepon mama atau kedua adiknya dalam aplikasi.
“Di luar, ada orang cari kamu!”
Tiba-tiba lutut Soe terasa lemas. Jika ada Kamis yang mampu membuat seseorang menghilang dalam seketika, Soe pasti ingin menghilang hari ini. Tapi, hari itu tak pernah ada. Maka yang Soe lakukan adalah menghadapinya.
“Mama tenang dulu, Soe yang ngomong, ya.”
Soe menemui orang itu, dia mengecek juga tanda pengenal dan surat tugas yang ditujukan untuk menagih utang Soe. Semuanya lengkap. Kemudian dari sana Soe menjelaskan keadaannya, dia memohon untuk bisa dimengerti. Dia pun menjelaskan alasan kenapa tidak pernah merespons pesan-pesan tagihan selama ini, bahkan Soe menunjukkan kalimat-kalimat intimidatif yang masuk ke ponselnya itu.