Memasuki bulan Juni mal-mal di Jakarta kembali dibuka dengan menerapkan normal baru. Pengunjung dibatasi, tidak ada kegiatan yang mengundang keramaian, dan makanan hanya boleh dipesan untuk dibawa pulang. Masa itu Soe lebih banyak melayani pesanan online daripada orang yang datang membeli langsung ke gerai tempatnya bekerja. Mal jadi terasa kosong, dan dia pun sebenarnya lebih banyak bengong.
Setelah Meylian menyerahkan tabungan padanya, Soe segera membayarkan utang yang tertunggak. Tidak semua memang, dia mengajukan permohonan agar utangnya bisa dibayar berkala, mengingat saat ini dirinya sudah mulai bekerja lagi. Di rumah, Sinta sebenarnya juga sudah tidak meminta uang dari Soe, karena perempuan itu tahu kalau anak lelakinya dibayar tak penuh, apalagi dia harus tetap membayar kos, karena kembali tinggal di indekosnya yang lama. Tapi Soe tak setega itu, dia tetap memberikan uang belanja pada mamanya meski tidak sebanyak sebelumnya. Pada akhirnya, mereka saling mengerti keadaan saat ini cukup sulit, meski sudah sedikit membaik.
Waktu berjalan cepat, Soe mulai membiasakan diri dengan normal baru. Termasuk juga membiasakan diri untuk benar-benar jauh dari Nali. Sejak saat itu, Soe tidak pernah berani membagi kabar pada perempuan itu lagi. Memang tidak pernah ada kata putus, tapi tiap kali Soe mengingat ucapan Nali di taman waktu itu, ditambah sikapnya yang seolah enggan ditemui saat terakhir kali, Soe sungguh merasa hubungan mereka sudah berakhir.
Hingga akhirnya di satu siang seseorang menepuk pundaknya saat Soe sedang berada di supermarket, mal tempatnya bekerja untuk membeli perlengkapan mandi yang sudah kosong. “Eh, Om?” Soe kaget melihat siapa yang ada di hadapannya kini, papa Nali. “Om sendiri?” tanya Soe lagi.
Lelaki itu mengangguk.
“Apa kabar?” tanya Soe lagi. Dia memperhatikan lelaki itu, terlihat lebih kurus dari yang terakhir dia lihat.
“Baik. Kamu bagaimana, Soe?”
“Baik, Om.”
“Bagus kalau begitu, Soe. Kenapa enggak pernah main lagi?”
Soe bergeming. Soe kesulitan mencari padanan kata mana untuk menjawab pertanyaan itu.
Lelaki tersebut memukul pelan bahu Soe. “Om boleh bicara sebentar? Sambil jalan saja,” katanya.
Soe mengangguk, dia mengikuti papa Nali yang mulai melangkah di depannya.
Mereka berjalan menyusuri rak perlengkapan mandi dari tempat Soe tadi berada hingga ke belakang. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya lelaki paruh baya yang pada saat itu memakai setelan kaus berkerah dan celana pendek dengan warna senada untuk berbicara lagi.
“Om sudah tahu, Soe. Om sudah tahu apa yang terjadi pada kalian.”
Soe tidak merespons apa pun, dia hanya terus berjalan mengikuti langkah lelaki itu.
“Dan Om mau minta maaf sama kamu, kalau ucapan Om waktu itu bikin kamu tersinggung, bikin kamu rendah diri, bikin kamu sakit hati, bikin kalian berantem… Om minta maaf, Soe. Om yang salah. Om yang enggak bisa menghargai perasaan kalian.” Kali ini lelaki itu berhenti di rak tisu toilet. Dia berbalik pada Soe. “Maafin, Om,” katanya sambil memegang bahu Soe.
Soe hanya mengangguk kecil.
Papa Nali kemudian melepas pegangannya dari bahu Soe. Dia kembali melangkah ke rak sebelah. “Kami sempat bertengkar hebat. Bahkan saat itu, Natali menyewa apartemen, dan ninggalin Om sendirian di rumah. Om kecewa sama diri sendiri. Bahkan Om enggak bisa buat bahagia Natali, padahal Om sudah janji pada mendiang mamanya.
“Waktu awal pandemik, Om sempat terpapar covid. Payah sekali saat itu, sampai-sampai rasanya udah enggak ada harapan lagi untuk Om hidup. Tapi Nali kasih Om semangat. Dia kirim masakan buatannya sendiri. Masakan yang beberapa bulan sebelumnya enggak Om pernah cicipi lagi. Semangat Om balik lagi berkat itu. Om juga tahu dan makin yakin, kalau Natali enggak betul-betul ninggalin Om.”
Lelaki itu kembali memandang Soe. “Soe, Natali betul-betul cinta sama kamu,” katanya. “Om bisa lihat dari matanya saat jauh dari kamu,” katanya. Tak hanya menatap, sebelah tangan lelaki itu kini kembali memegang bahu Soe. “Temui dia, Om bisa lihat dari matamu, kalau kamu juga masih cinta Natali.”
Soe tetap bergeming di posisinya.
“Temui dia, Soe. Sekarang Natali sudah tinggal kembali bareng Om,” ucap lelaki itu lagi. Sambil menepuk bahu Soe, dia melangkah pergi.
—
Butuh beberapa minggu sampai Soe akhirnya memberanikan diri untuk datang ke kediaman Nali. Penjaga rumah mengenali Soe, dan menyuruhnya ke dalam. Soe menolak saat lelaki tegap itu menawarkan diri untuk mengantar Soe menemui Nali. “Enggak apa-apa, Pak. Biar saya sendiri,” kata Soe.
Lelaki itu mengangguk, “Mbak Natalinya di berada, Mas.”
“Oke, saya titip motor ya, Pak.”
“Iya, Mas.”
Soe melangkah masuk. Tapi, di beranda dia tak menemui Nali. Yang duduk di sana justru papa Nali.