Bel tanda istirahat sudah berbunyi. Setelah pak Iwan membubarkan kelas, Indri langsung keluar menuju kelas XII IS 2. Di kelas itu juga baru dibubarkan oleh ibu Reni, guru sejarah. Tanpa mempedulikan sekelilingnya, Indri langsung menarik tangan Ian. Ian yang sudah biasa dengan sikap Indri ini hanya bisa mengikutinya tanpa bisa membantah. Indri menggiring Ian menuju bangku dibelakang perpustakaan, tempat yang cocok untuk melakukan pembicaraan rahasia.
“Gue ada masalah.” Indri berkata serius sambil duduk menopang dagunya.
“Mantan lo yang kemarin neror lo?” Ian juga duduk disamping Indri.
“Itu gak bisa dibilang masalah. Masalah gue ini adalah biangnya masalah.” Indri sediky terlihat putus asa. “Om Ben bakal balik satu bulan lagi.”
“Trus?” Ian masih bingung dengan masalah yang dibicarakan sahabatnya ini.
“Dan sekarang gue bingung. Gue gak tau gimana nanti sikap gue pas ketemu sama om Ben.” Wajah Indri dipenuhi keraguan.
“Saran gue sih jangan terlalu senang. Lo kan hampir ketahuan beberapa kali. Karena itu lo jadi nerima semua cowok yang nembak lo.” Ian menjawab ogah-ogahan, karena tidak tertarik sama sekali.
Indri pun tersadar dengan perkataan Ian. Keluarganya pernah mencurigainya beberapa kali, walaupun sebenarnya itu cuma sikap waspada Indri saja, sehingga dia berdalih mendapatkan pacar. Kali ini harus lepas dari kecurigaan, karena sebenarnya dia capek pacaran dengan seseorang yang bahkan dia tidak kenal. Perasaan Indri semakin berat dan membingungkan.
“S*al! Gue jadi pengen makan yang manis.” Wajah Indri sangat kesal. “Tanggung jawab lo ya, bikin mood gue ancur aja. Nanti pulang les, traktir gue boba!”
Ian tidak pernah mengerti dengan pemikiran sahabatnya ini. Semakin dekat hubungan mereka semakin asing pula jalan pikiran Indri bagi Ian. Dia hanya bisa pasrah, karena kalau menolak pun... Ian tidak pernah bisa menolak permintaan Indri.
“Nyesel gue tau rahasia lo.” Ian tidak sengaja menyuarakan pikirannya.
“Lo bilang apa tadi?”
“Gue bilang, kenapa lo bilangnya sama gue?”
“Karna lo yang tau rahasia gue. Kalau bukan sama lo, sama siapa lagi gue bisa curhat?”
“Udah? Lo Cuma mau bilang itu kan?” Indri mengangguk. “Ok, kalo gitu gue jemput lo di jam biasa di tempat les.”
“Sip, jam biasa.” Indri mengangkat jempolnya.