Indri masih mengingat hari itu dengan sangat jelas. Walaupun seperti mimpi tapi sensasi itu sangat nyata. Setelah mereka pulang dari taman bermain, Indri dengan antusiasnya curhat ke Ian. Sang sahabat bahkan sampai hafal dengan detail hal-hal yang dirasakan dan apa yang dilihat oleh Indri.
Seperti biasa, Indri yang sendirian dirumah sedang menonton diruang tengah dengan si Mpus. Sebenarnya dia ada janji sama Ami, tapi dibatalkan. Ami yang berencana pulang hari ini dibatalkan karena nininya, ibu dari papanya, tiba-tiba sakitnya kambuh dan dia menunda kepulangannya untuk menjaga nininya sampai liburan berakhir. Sedangkan Ian gak mau diajak jalan karena dia bilang lagi sibuk, palingan juga sibuk ngegame.
Tiba-tiba bel berbunyi. Indri memanggil teteh Putri tapi gak ada jawaban. Dia lupa kalo jam segitu teteh Putri gak dirumah. Dengan sedikit malas, Indri menyeret kakinya melihat siapa orang yang memencet bel.
Didepan pagar berdiri seorang wanita. Rambutnya dikuncir dan memakai kacamata yang sangat serasi dengan wajah bulatnya. Baju blouse panjang berwarna hijau muda dan rok denim selutut menetupi kesan anak-anak karena tubuh kecilnya. Dari jauh Indri sudah tau kalau tamunya itu kak Mentari. Indri segera membukakan pagar, takut sang tamu kelamaan nunggu.
“Kak Mentari. Masuk dulu kak.” Indri berjalan dibelakang kak Mentari sampai ke ruang tamu. Suasana saat itu sangat canggung. Dia bahkan tidak tau untuk memulai percakapan. “Oh iya, teh. Biar aku bikin teh dulu bentar, atau kakak mau yang lain? Kopi atau jus mungkin?”
“Gak usah repot-repot. Indri sendirian aja dirumah?” Suaranya sangat lembut, mengingatkan Indri dengan sosok seorang kakak.
“Iya kak, kalo jam segini dirumah emang gak ada orang.” Suasana canggung mungkin sudah sedikit mencair hanya saja sedari awal Indri tidak begitu menyukai kak Mentari, karena alasan pribadi.
Setelah itu pembicaraan sesaat berhenti. Indri berpikir keras untuk memulai percakapan, tapi dia tidak ingin bercakap akrab dengan wanita di depannya ini. Dia ingin kabur dari situ.
“Sebelumnya kita pernah ketemu gak?” Setelah diam itu, kak Mentari mulai angkat bicara lagi.
“Maksud kakak?” Indri merasa heran dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Dia berpikir keras.
“Beberapa bulan yang lalu, udah agak lama sih, aku gak sengaja nabrak orang di sebuah mall. Waktu aku tengok, wajahnya mirip sama Ben kalo versi cewek dan waktu Ben ngenalin waktu itu aku kaget banget.”
Indri kembali menggali ingatannya beberapa bulan yang lalu. "Kayaknya memang ada kejadian kayak gitu." Indri menjawab dengan ragu.
“Ternyata benar.” Wajah kak Mentari berseri. “Aku sempat kaget melihat kamu berdiri deketan sama Ben, bener-bener mirip. Kok bisa mirip gitu ya?”
Belum sempat Indri menjawab, om Ben sudah menginterupsi dahulu.
“Maaf baru nyampe. Kamu udah lama nunggu?” Om Ben langsung memeluk kak Mentari. Indri yang melihat itu langsung dibakar cemburu. Matanya menyiratkan kemarahan.
“Oh, nunggu om Ben. Kalau gitu aku balik ke kamar dulu, takut ganggu.” Indri berusaha menjaga nada bicaranya sedatar mungkin.