“Indri, sebelum pulang nanti tolong temui saya di ruangan saya.” Pak Herman dengan suara berat dan wajah datarnya memperingatkan Indri.
“Iya pak.” Indri menjawab dengan murung.
Hari itu, sekali lagi Indri disuruh menghadap pak Herman. Ami yang mendengar itu segera bertanya setelah pak Herman keluar.
“Lo bikin masalah hebat apa sampe dipanggil Herman segala?” Pak Herman memang dikenal sebagai guru yang tegas, tapi dia tidak terlalu peduli dengan muridnya kalau tidak terlalu besar masalahnya.
“Nilai gue kali?”
“Kalau nilai lo bermasalah, bukankah gue lebih parah?” Ami terlihat sangat cemas.
“Tenang aja, kalo lo gak dipanggil berarti masih dalam batas wajar.” Indri mulai membereskan peralatan belajarnya lalu menyandang tasnya. “Gue ke pak Herman dulu.”
“Iya, hati-hati. Gue doa in lo selamat.” Ami menautkan kedua tangannya menirukan sikap berdoa.
“Makasih.”
***
Indri menemui pak Herman di ruang guru. Semua hal yang dilakukannya persis sama saat pertama kali dia di panggil ebelmunya, bahak seperti deja vu.
“Kamu tau kenapa saya panggil?” Pak Herman bertanya tanpa basa-basi.
“Karna nilai saya pak.” Indri menjawab agak ragu.
“Benar. Sebenarnya saya tidak pernah mempermasalahkan nilai-nilai jelek, karna saya tau kemampuan setiap manusia itu berbeda. Saya hanya tidak bisa menoleransi kelalaian. Saya tau kamu memiliki kemampuan yang lebih dari nilai-nilai kamu ini.” Pak Herman memperlihatkan hasil ujian Indri beberapa bulan terakhir.
Dikertas itu terlihat bahwa nilai Indri naik turun.
“Saya tegaskan sekali lagi, kalau kamu ada masalah jangan dipendam. Cari teman untuk berbagi, kalau mentok gak ada siapapun kamu bisa cerita sama saya.”
“Baik pak.” Indri menjawab dengan murung. Dia tidak melawan karna itu memang murni kesalahannya.
“Saya tidak akan menoleransi untuk yang ketiga kalinya. Kamu sudah menentukan mau lanjut ke universitas mana?”
“Maaf,belum pak.”
“Pikirkan baik-baik. Cukup itu saja.” Pak Herman menengok jam tangannya. “Sudah jam tiga lewat. Kamu pasti mau pulang, karena saya juga.” Pak Herman mulai membereskan barang-barangnya.
“Kalau begitu saya permisi dulu pak.”
“Iya. Lain kali jangan lalai lagi.”
“Baik pak.”
Indri berjalan gontai menuju gerbang sekolah. Masih ada bimbel yang harus diikutinya.
***
Indri sedang mengobrol dengan teman-teman di bimbelnya sambil menunggu kelasnya dimulai. Sedang asyiknya mengobrol, ponsel Indri berdering. Nama Ami terpampang dilayar gawainya. Indri berjalan agak menjauh dari teman-temannya itu untuk menerima telepon dari Ami.
Baru saja Indri menjawab telepon dari Ami, dia langsung menanyai Indri.