“Gue jadi lega.” Indri merentangkannya tangannya sejauh mungkin. Mereka baru saja keluar dari bioskop. Film action terbaru sedang diputar dan Indri ngebet pengen nonton. “Habis ini mau kemana lagi?”
“Pulang.”
“Eh... jangan dulu dong. Ngapain pulang cepet-cepet?”
“Trus lo mau kemana lagi?”
“Ke gedung tua yang kemarin yuk.” Indri mendahului Ian berjalan menuju mobilnya.
Mereka sampai dibangunan itu satu jam kemudian. Jalanan sangat macet karena banyaknya kendaraan dijalan raya. Hampir setiap menit Indri kesal mendengar klakson dari mobil dibelakangnya.
“Macetnya parah banget. Untung gak terlalu macet kesininya.” Kali ini Indri yang menyiapkan kursi untuk mereka berdua.
“Tumben?”
“Sesekali gue pengen juga balas kebaikan lo, walaupun hanya dengan hal sepele.” Indri duduk lalu menyerahkan kaleng kopi panas yang mereka beli tadi.
“Mau kapanpun gue liat pemandangan disini tetep aja indah.” Indri menyesap coklat panasnya.
“Hmm...”
Suasana jadi hening. Hanya suara angin berhempus membawa hawa dingin yang terdengar, serta sayup-sayup keramaian jalan dikejauhan.
“Om Ben bakal menikah dua bulan lagi.”
Ian menatap Indri dengan serius. “Trus, gimana dengan lo?”
“Ya, gak gimana-mana.”
“Maksud gue...” belum sempat Ian menyelesaikan katanya, Indri sudah memotong duluan.
“Hahaha... gue tau maksud lo. Gue lagi tahap melupakan. Lagian bentar lagi kita ujian nasional, gue gak mau ujian gue kacau gara-gara masalah ini dan nanti menyesal.”
“Lo yakin?”
“Gue masih ragu.” Indri menggenggan erat kaleng coklat panas ditangannya.
“Ada begitu banyak orang yang mencintai lo, jangan terlalu terfokus pada satu orang. Gue salah satunya.” Suara Ian ditutupi oleh suara angin yang kencang sehingga Indri tidak mendengarnya.
“Lo bilang apa tadi?”
“Gue bilang jangan terlalu terfokus pada satu orang.”
“Bukan keinginan gue buat terfokus sama satu orang.”
“Udah sering gue bilang ke lo, lebih pikirin diri lo sendiri.”
“Lo emang sahabat gue paling baik. Gue gak tau gimana kalo gue gak keceplosan waktu itu. Mungkin sekarang kita masih musuhan.”
“Iya, gue sahabat lo.” Ian menunduk sambil mengusap tengkuknya.
“Lo kenapa? Udah kedinginan aja?”
“Kopi gue udah mulai dingin.”
“Coklat gue udah habis dari tadi.” Indri tersenyum sambil menggoyang-goyangkan kaleng didepan wajahnya yang sudah kosong.
“Gimana kalo pulang?”
“Bentar lagi. Gue masih mau menikmati pemandangan ini. gue pengen fokus belajar, jadi gue gak bisa keluar sering-sering.”
“Gue tunggu lima menit lagi.” Ian melihat jam tangannya.
***