“Aris? Ada apa nyariin gue?”
“Gue mau makan, nanti disana gue mau bilang. Gimana?”
“Nanti malam kayaknya gue gak bisa. Gue ada bimbel.”
“Kapan lo bisanya?” Aris masih ngotot mengajak Indri makan malam.
“Kayaknya sampai ujian selesai gue gak bisa deh.”
“Eh...” Aris menyuarakan kekecewaannya. “kalau gitu dibelakang perpus aja. Gue pernah liat kalo gak salah disitu ada kursinya.”
Indri berpikir lama. “Kalo sebentar kayaknya gue bisa.”
“Gak lama kok.”
Aris mulai berjalan menuju belakang perpustakaan. Salah satu alasan tidak ada orang yang pernah kesitu karena jalannya yang sedikit tersembunyi jadi tidak banyak yang tahu tentang tempat itu. Hanya beberapa orang, orang-orang itupun kebanyakan sudah lulus. Hanya Indri, Ian dan Ami yang tahu jalannya.
“Rasanya jalannya deket sini deh, tapi dimana ya?” Aris kebingungan nyari jalan ke belakang perpus.
“Jalannya lewat sini.” Setelah menunggu beberapa lama, kesabaran Indri mulai berkurang. Dia langsung mengambil alih lalu menuntun jalan.
“Lo tau jalan ke situ?” Aris mengikuti dibelakang Indri.
“Gue sering ke belakang perpus kalo mau sendiri.” Mereka sudah sampai di kursi dibawah pohon. “Jadi lo mau ngomong apa?”
“Gue mau minta kontak lo boleh?”
“Lo ngajak gue cuma buat minta kontak gue?”
“Gak juga sih. Selain gue mau minta kontak lo, gue juga mau jadi pacar lo. Boleh?”
Indri tersenyum tersipu mendengar pernyataan cinta dari Aris.
“Lo yakin ngajak gue pacaran?”
“Yakin lah. Gue tu sebenarnya udah lama suka sama lo.”
“Lo gak pernah denger semua gosip tentang gue?”
“Gue gak percaya sama semua gosip murahan itu. Masa iya, cewek secantik lo di gosipin yang gak-gak.”
“Hmm... gimana ya?” Indri berpura-pura berpikir keras.
Aris menggenggam kedua tangan Indri. Dia menatap tajam kedua bola mata Indri. “Gue serius buat jadi pacar lo. Ini kesempatan terakhir gue sebelum kita sama-sama lulus.” Aris masih saja dengan sifat kepe de annya.
Belum sempat Indri menjawab, tangannya sudah dihentakkan oleh tangan lain. Ian, melepaskan genggaman tangan Aris di tangan Indri.
“Lo ngapain berdua aja sama dia?” Nadanya terlihat sangat marah.
Indri hanya diam saja dan menunduk. Dia berusaha menahan tawa.
“Ngapain lo disini? Gangguin gue aja.” Aris protes ke Ian.
“Bukan urusan lo.”
“Ini juga bukan urusan lo. Emang lo siapanya Indri?”
“Gue sahabatnya.” Ian menarik tangan Indri menjauh dari tempat itu. Meninggalkan Aris yang dipenuhi tanda tanya.
Setelah yakin sudah lumayan jauh, tawa Indri pecah. Dia tak henti-hentinya tertawa, sampai mengeluarkan air mata.