Indahnya mentari disambut oleh ikan-ikan yang melompat dari laut. Ombak yang tenang memberikan kecupan hangat kepada pasir halus lalu kembali seperti kekasih yang tahu bahwa mereka akan bertemu kembali. Itulah kesan pertamaku pada pantai. Mungkin sedikit kaku, tetapi aku punya pembelaan yaitu aku belum lama hidup berdampingan dengan manusa.
"Apa kau rindu dengan tempat tinggalmu?" tanya sang pangeran yang sedang membuat istana pasir menggunakan barang aneh yang baru aku lihat.
"Yang mulia seharusnya menanyakan itu sepuluh tahun ke depan. Aku baru tinggal di sini selama tiga bulan, tidak mungkin aku sudah rindu. Lagian tempat tinggalku tidak ada apa-apa kecuali ikan dan beberapa predator," jawabku sambil membetulkan pelindung mataku yang terasa longgar.
"Jangan terlalu kaku, panggil saja namaku."
"Tapi yang lain-."
"Panggil namaku!"
Aku menatapnya dengan pasrah. "Baiklah, Morze."
"Panggil nama lengkapku," dia mengatakannya dengan nada yang membuatku kesal.
"Lupakan," aku tersenyum sambil menyembunyikan wajahku dibalik tangan dan lututku.
"Iya, iya, aku tahu kau masih susah dalam melafalkan bahasa manusia," dia mengusap kepalaku dengan lembut. Entah mengapa itu membuatku nyaman.
"Sepertinya langit sudah mulai gelap. Haruskah kita kembali untuk makan malam?" aku berdiri sambil membersihkan kakiku dari sisa pasir yang menempel.
"Kau benar, aku tidak mau mendengar ocehan dari Elma," dia menjulurkan tangannya kepadaku, "mari kembali, Ribelia."
Jantungku berdebar hanya mendengar dia menyebut namaku hingga aku lupa membalasnya dan hanya memegang tangannya. Kami berjalan menyusuri pantai tanpa berbicara sepatah kata apapun. Berjalan diatas pasir yang lembut sambil melihat matahari yang terbenam, seolah-olah matahari sedang melambai dan meminta bulan melindungi kami. Apa rasa yang ada dalam dadaku ini? Mengapa bibirku tersenyum lebar tanpa aku sadari? Mengapa mataku selalu tertuju pada wajah Morze-..., sepertinya aku masih belum siap menyebut nama lengkapnya. Apakah ini yang dinamakan cinta? Tidak, tidak. Aku pernah membaca bahwa cinta tidak muncul secepat itu. Mungkin ini perasaanku terhadap sesuatu yang asing..., apa itu namanya..., YA! Rasa kagum. Mungkin itu..., tetapi aku tidak pernah menemukan bacaan atau cerita bahwa rasa kagum membuat perasaan yang aneh di dalam dada.
"Ribelia. Apakah kau perlu pelindung mata yang baru?" sebuah pertanyaan tiba-tiba yang sedikit membuatku terkejut. Aku tidak terkejut dengan perkataannya, melainkan suara dia yang sangat lembut.
"Ah-, tidak perlu. Pelindung mata ini masih nyaman untuk dipakai," jawabku sambil menunjuk penutup mata.
"Baiklah, jika sudah tidak nyaman bilang saja. Aku khawatir jika matamu tiba-tiba terkena cahaya."
"Hahaha. Aku jadi teringat ketika pertama kali aku terbangun di laboratorium," aku merasakan suatu perasaan tentang keinginan untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk merasakan pengalaman itu lagi. Apa nama perasaan ini? Seperti rindu. tetapi ada bahasa lain yang lebih mewah.
"Oh, aku ingat, tapi..., sepertinya itu pengalaman yang menyakitkan buatmu?" tanya dia dengan wajah khawatir.
"Aku memang merasa kesakitan karena mataku yang ternyata sangat sensitif dengan cahaya, tetapi itu hanya menyakitkan di mata saja. Maksudku, mengingat semua itu membuatku rindu," aku mencoba mencairkan suasana, "Oh ya, apa nama suatu perasaan tentang keinginan untuk kembali ke masa lalu? Seperti rindu, tapi sepertinya ada bahasa lainnya yang lebih mewah."
"Biarkan aku berpikir sejenak," wajahnya berubah dari khawatir jadi berpikir, "Nostalgia?"
"YA ITU! Akhirnya, setelah berpikir lama. Terima kasih Morze." Aku masih tidak bisa mengucapkan nama lengkapnya.
"Aku ingin mendengar kau memanggil nama lengkapku. Apakah sesusah itu namaku?" Tanya dia sambil melihat ke atas dengan tangannya memegang dagu.
"TIdak, tidak. Hanya saja, aku tidak sanggup menyebut namamu. Seperti ada yang mengganjal di dadaku," jawabku sambil memegang dadaku yang berdetak kencang.
Morze melihatku dengan tatapan seperti orang baru sadar sesuatu. "HAHAHAHAHA!." Setelah itu dia memalingkan tatapannya ke arah lain sambil menutup mulutnya menggunakan tangannya..., dan sepertinya..., pipinya tiba-tiba berwarna merah. Apakah aku salah lihat?
"Mengapa kau tertawa?"
"Tidak-tidak. Aku hanya terkejut."
"Apakah ada perkataanku yang membuatmu terkejut?" tanyaku dengan sangat penasaran.
"Akan kuberitahu jika waktunya tiba," kata dia sambil membelai rambutku. Hal itu selalu membuat dadaku berdegup kencang.
"Baiklah." Jawabku sambil membelai rambutku di bagian kiri.
Di tengah perjalanan kami berpisah. "Sampai bertemu besok," kataku dengan senyum.
"Sampai bertemu besok juga," balas dia sambil melambaikan tangan kanannya.
Morze berjalan ke arah istana, sementara aku berjalan ke arah laboratorium dimana tempat aku tinggal dan bekerja. Laboratorium adalah tempat dimana aku pertama kali terbangun. Aku masih ingat banyak orang melihatku dengan tatapan yang tidak enak untuk dirasakan. Kurasa itu wajar karena aku bukan manusia, melainkan manusia setengah ikan? Kurasa ada nama lainnya... AH! Duyung. Aku pernah membaca buku ceritanya. Ketika aku membaca buku itu, aku tidak merasakan apa-apa karena itu semua tidak terjadi padaku. Dalam buku yang kubaca diceritakan bahwa ada kerajaan duyung yang sangat besar hingga menguasai lautan. Kenyataannya aku bahkan tidak mengenal siapa orang tuaku dan dimana duyung-duyung lain hidup. Hidup sendiri di kedalaman laut yang sangat dalam adalah kehidupanku sebelum tinggal di sini. Di dalam sana aku hanya berenang ke sana ke mari sambil menyelamatkan hewan-hewan lain yang diserang oleh predator ganas. Selama di sini, aku tidak pernah bertarung dengan siapapun, tetapi aku selalu merasa dijauhi oleh orang lain. Tatapan mereka berbeda dengan Morze yang hangat. Tatapan mereka seperti es yang dingin dan ketika menatapnya es tersebut akan menancap lalu menimbulkan rasa sakit di dalam dada, tetapi berbeda dengan rasa sakit ketika terluka.
Akhirnya aku sampai di depan pintu laboratorium dengan kayu yang digantung bertuliskan: "Untuk Ribelia, jangan lupa menunduk." Dengan gambar kecil berbentuk seperti wajah tersenyum di atas tulisan menunduk. Aku masuk ke dalam ruangan sambil menunduk dan disambut dengan meja yang penuh dengan makanan.
"Ribelia, duduklah. Makanan sudah siap," suruh Arlette kepadaku yang habis menaruh buku-bukunya di lemari.