Malam yang cerah bagi kebanyakkan orang, tapi tidaklah bagi Hayyah. Itu adalah malam yang diselimuti mendung, perjalanannya ke tempat latihan laksana tour rumah hantu. Jantungnya tak berhenti berdebar.
"Yaya! Kamu lambat lagi! Itu siapa? Pacar kamu?!" Bentak Kak David. Semua orang menoleh keluar. Tiba-tiba salah satu penari senior keluar dari dalam gedung. "Eh.. Pacarnya Yaya? Kok kamu tidak bilang selama ini punya pacar? Ganteng lagi" Kata kak Aldi menghampiri Hayyah dan Ais yang baru saja tiba.
"Bukan! Dia bukan pacar saya! Di, di, dia kakak sepupu saya! Iyaa kakak sepupu, baru datang dari kampung!", kata Hayyah tegas dan langsung turun dari atas motor.
"Dek, kalau sudah selesai telpon ke rumah ya dek" kata Ais sambil melambaikan tangan kepada Hayyah lalu kembali ke rumah.
"Aduh, dasar!" Hayyah tak membalas lambaiannya. Tentu saja hari itu adalah hari yang melelahkan bagi Hayyah. Dia harus berlari 3 keliling lapangan volly karena keterlambatannya. Waktu telah menunjukkan pukul 22.15. Di luar sedang hujan rintik, dingin, dan 2 menit lagi latihan berakhir.
"Ah, lelahnya", lirih Hayyah sambil berjalan keluar gedung, ia juga sedang memegang ponselnya dan hendak menekan nomor ponsel Ummanya. Tapi setibanya di luar, ia dikejutkan dengan kehadiran Ais yang telah menunggunya di antara celah pilar gedung menghadap ke teras lobby, motornya berembun, terlihat dia telah berdiri disana 20 menit yang lalu.
"Hn?" gumam Hayyah sambil menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri. Orang-orang masih di dalam gedung. Dia berlari ke arah Ais dan langsung naik ke atas motor.
"Kak! Ayo cepat pergi!" teriak kecil Hayyah. Ais hanya tersenyum dan lagi-lagi menyodorkan helm ibunya yang dia pegang sedari tadi. "Ini pakai. Kata google, hujan yang turun rintik begini, kalau kena langsung ke kepala, bisa buat kamu sakit kepala", kata Ais berjalan ke arah Hayyah
"Hm, iya, iya, ayo cepat pergi dari sini, mereka akan melihatmu lagi"
"Baik tuan putri", kata Ais dengan suara yang sedikit samar. "Apa?", tanya Hayyah.
"Tidak, bukan apa-apa" Ais tersenyum.
Di sisi lain, terlihat ada sosok perawat yang mondar-mandir di depan meja kerjanya. Wajahnya tak tenang. Ponsel biru miliknya terus ia genggam erat, sesekali ia meletakkannya di telinga, kadang di sebelah kiri, kadang di kanan. "Kenapa Ais tidak mengabariku hari ini. Angkat teleponnya. Ah, membuatku cemas saja"
Ais dan Dika terlihat sangat akrab, mereka menghabiskan malam di depan televisi, berbaring di atas karpet yang tipis, dan memainkan beberapa permainan jari. Hayyah keluar dari kamarnya, duduk di sofa ruang tamu mengamati adiknya bermain dengan Ais. Tak sengaja, Ais melihat Hayyah.
"Dek, mau menemani kakak latihan fisik? Kita jogging selepas shalat subuh". Ais bangun dari rebahnya, duduk bersila menghadap Hayyah dan merangkul kecil tubuh Dika.