Ia, Exaudi Historia

Yemima Haan
Chapter #2

Bagian I

SEORANG REMAJA TANGGUNG berjalan menelusuri jalan kecil dengan sorot mata tajam dan ransel usangnya yang berjuang untuk tetap menggantung di punggungnya yang tegap. Orang-orang memperhatikannya sepanjang ia berjalan. Memang penampilannya saat ini cukup mengundang perhatian. Tetapi remaja tanggung itu tidak peduli. Ia terus berjalan. Tujuannya hanyalah rumah yang berjarak 3 belokan dan 1 jalan besar lagi.

Langkah kakinya yang besar dan berat membawa tubuh tingginya melewati manusia-manusia yang juga sibuk dalam ketergesaannya masing-masing. Di ujung cakrawala matahari masih memancarkan cahaya, meski mulai meremang karena sedikit lagi waktunya istirahat. Melihat itu, si remaja tanggung mempercepat langkahnya. Surai merah ikalnya yang membara seperti api sedikit beterbangan terbawa angin karena langkahnya yang semakin cepat. Dari kejauhan sebuah pekarangan sederhana dengan rumah bercat agak kusam mulai terlihat. Itu tujuannya.

Sesampainya di depan pagar, ia tak langsung masuk ke dalam. Dilihatnya dari jauh sesosok wanita bertubuh mungil dengan pakaian khas biarawati tengah menyirami bunga-bunga dengan tenang. Wajahnya terlihat begitu teduh. Semakin lama ia melihat wujudnya itu, semakin ia merasa tidak enak di dalam hatinya. Tapi ia sudah sampai, mau tak mau harus segera masuk ke dalam daripada dianggap seperti orang aneh karena hanya mematung begitu saja di depan pagar.

“Aku pulang.” ujarnya pelan. Wanita yang sedang menyiram bunga jelas langsung menoleh ke arahnya, tersenyum lembut. Tetapi ketika mulutnya hendak bersuara menyambut kedatangan remaja itu, ia langsung terdiam.

Wanita itu melihat si remaja lamat-lamat, perlahan dari atas sampai bawah. Yang ditatap perlahan menunduk. Wanita itu kini mematikan keran, menggulung selang, lalu perlahan berjalan ke arah si remaja yang masih berdiri tercenung.

“Kenapa wajahmu begini, Audi?”

Si remaja tak menjawab. Ia menunduk dalam diam. Surainya yang membara berjatuhan, sebagian menutupi wajah putih kecokelatannya yang penuh luka. Lebam di kening, robekan kecil di bawah mata dan di sudut kiri bibir, serta hidung yang merah terang. Kedua tangannya yang mengepal juga memberikan pemandangan yang serupa: memar dan lecet. Pemandangan yang cukup tidak enak. Pantas saja orang-orang banyak yang memperhatikannya sewaktu perjalanan pulang tadi.

“Audi,” namanya kembali dipanggil dengan lembut. Raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan amarah. Wajah dewasanya yang lembut dan memiliki banyak cerita yang terpendam itu terlihat sabar menunggu respon dari seorang remaja tanggung yang berdiri di depannya. “Kamu habis bertengkar di sekolah?”

Si rambut merah memalingkan wajahnya ke arah lain. Kedua alis merah milik sang remaja tanggung perlahan bertaut. Ia bingung.

“Exaudi Historia.” kini nama lengkapnya dipanggil dengan suara yang lebih tegas dibandingkan yang sebelumnya. Mendengar itu, ia kembali menoleh ke arah sang suster yang kini menatapnya dengan raut yang lebih serius. Tak lama, perlahan ia menjawab.

“Ya, Suster Irene,” jawab Exaudi. Singkat. Netranya yang sebiru langit beradu sebentar dengan netra hitam milik sang suster. “Aku tadi bertengkar di sekolah.”

Mendengar jawaban itu, sang suster menghembuskan napas panjang. Ia sudah tahu betul seperti apa anak asuhnya yang satu ini. Bukan barang sekali ia menerima kabar kalau Exaudi seringkali terlibat masalah di sekolah. Bukan barang sekali ia menyambut Exaudi pulang dari sekolah dengan wajah yang luka atau tangan yang memerah karena darah. Entah itu Exaudi yang membuat masalah atau jadi yang terpancing oleh masalah itu. Bukan barang sekali juga ia menasihati anak asuhnya ini supaya tidak termakan emosi dan asal tonjok jika merasa kesal. Tapi nampaknya nasihatnya sulit untuk diindahkan.

“Kenapa bisa bertengkar? Dengan siapa?” tanya Suster Irene. Kini jemarinya perlahan merapikan rambut Exaudi yang mencuat kemana-mana. Rambut merah membara itu begitu kontras dengan kulitnya yang seputih salju. “Ada orang yang mengganggumu, atau kamu yang mengganggu orang lain?”

“Aku bertengkar dengan anak kelas sebelah, Suster. Dia menggangguku duluan. Dia mengatakan hal-hal yang tidak enak didengar. Makanya aku menonjok mulutnya yang bodoh itu.” jawab Exaudi. Suster Irene geleng-geleng kepala. Dipegangnya kedua pundak tegap milih anak pantinya, menatap kedua bola mata biru indah itu dengan sungguh-sungguh.

“Suster sering berkata padamu kalau sebagai manusia, kita tidak boleh termakan emosi kita, ‘kan?” Exaudi terdiam, lalu mengangguk.

“Kalau begitu, kenapa Audi bertengkar di sekolah?” untuk pertanyaan yang begitu Exaudi tidak bisa menjawab. Ia kembali menengok ke arah lain. Bingung.

“Maaf, Suster.” hanya itu yang Exaudi ucapkan. Suster Irene juga tak lagi berbicara. Kini ia mengusap kepala Exaudi, lalu berbalik badan.

“Ayo, kita bersihkan dulu lukamu.” dengan begitu sosok mungil Suster Irene perlahan-lahan menjauh. Exaudi terdiam memperhatikannya dari belakang, lalu menyusulnya. Dengan begitu mereka berdua masuk ke dalam panti, bergabung dengan anggota yang lain.

Setelah lukanya terobati dan tubuhnya sudah segar karena mandi, Exaudi langsung membantu Suster Irene dan teman-temannya yang lain di dapur untuk menyiapkan makan malam. Tapi bukan sebuah rahasia kalau Exaudi tidak pandai berurusan dengan perabotan dapur, jadi yang ia lakukan hanyalah mengupas wortel untuk sup ayam yang akan mereka masang bersama dengan perkedel daging nanti. Setidaknya Exaudi tetap membantu.

Dengan gigih, Exaudi melakukan apa yang bisa ia lakukan. Ia kupas wortel-wortel besar dan berwarna oranye terang itu dengan hati-hati. Ia juga ingin melakukan yang terbaik, meski hanya mengupas wortel. Setidaknya ia ingin membuat Suster Irene terhibur—meski dirinya yakin mengupas wortel sama sekali belum cukup—dengan usahanya membantu menyiapkan makan malam. Ia tahu betul meski Suster Irene tidak pernah menunjukkannya, hatinya bersedih setiap kali melihat anak asuhnya yang bernama Exaudi Historia pulang sekolah dengan kondisi penuh luka, bonyok dan lebam dimana-mana. Hampir setiap hari begitu.

Tidak, jangan tanyakan Exaudi mengapa ia harus langganan luka seperti itu. Exaudi sendiri juga tidak tahu jawabannya. Baginya, yang ia lakukan hanyalah membela diri. Anak-anak nakal kelas sebelah yang selalu mengganggunya hampir setiap hari bukan apa-apa bagi Exaudi. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Itu prinsip sederhana yang Exaudi pegang teguh. Prinsip yang ia bawa dari kerasnya hidup di jalanan. Ia bisa bertahan di dunia yang sinting ini sampai detik ini karena memegang teguh prinsip itu. Tetapi ia tidak mengerti, prinsip hidupnya itu selalu saja disanggah oleh Suster Irene.

Suster Irene tak pernah berhenti berkata padanya kalau jika ada kekerasan bukan berarti harus dibalas dengan kekerasan. “Tuhan mengajarkan kita untuk saling mengasihi kepada satu sama lain,” katanya pada suatu hari. “Audi lupa? Jika ada yang menampar kita di pipi kanan, maka kita harus memberikan pipi kita yang lain.”. Exaudi cuma terdiam. Konsep macam apa itu?

Ah, Exaudi tidak mengerti. Tapi yang jelas cuma satu: Suster Irene terlalu baik untuk dunia yang sinting ini.

Exaudi juga tidak mengerti untuk yang satu ini. Mengapa orang baik seperti Suster Irene harus hidup di dunia yang sinting? Dunia yang penuh ketidakadilan dan kebusukan? Dunia yang munafik dan kejam? Tapi lagi-lagi kehadiran Suster Irene di dunia ini jelas merupakan rancangan Sang Pencipta yang kejelasannya tidak ada yang tahu. Meski begitu, mengapa pula Sang Pencipta harus membuat hamba-Nya yang rapuh hidup di dunia yang seperti ini? Apakah itu benar-benar terjadi berdasarkan rencana-Nya, atau malah karena keinginan impulsif-Nya sendiri? Entah.

Tapi di balik segala kebingungan itu Exaudi bersyukur. Kehadiran Suster Irene bagaikan anugrah untuk hidupnya. Ia tidak akan pernah lupa bagaimana hidupnya akan berubah ketika Suster Irene menyelamatkannya di malam itu dari ambang kematian. 9 tahun yang lalu. Di bawah derasnya hujan ia tergeletak tak berdaya dengan luka tusuk di perutnya hasil bertengkar dengan preman-preman yang merebut makan malamnya. Berbaring di atas darahnya sendiri. Padahal makan malamnya itu cuma roti isi selada dan sepotong kecil daging. Preman-preman itu jelas bisa mendapatkan makanan yang lebih pantas dengan uang mereka daripada makan malamnya yang murahan itu. Tapi mungkin takdir tak ingin melihatnya bahagia karena mendapatkan roti untuk makan malam, maka preman-preman itu merampas makan malamnya dan memukulnya habis-habisan. Exaudi jelas tidak mau menyerah begitu saja. Ia lawan manusia-manusia keparat itu sekuat tenaga. Sebenarnya ia tahu betul ia tidak akan bisa menang melawan preman-preman itu, tapi ia tidak mau merelakan harga dirinya dirampas begitu saja karena menyerah. Pun perlawanannya yang sia-sia itu berujung pada kekalahan yang menyedihkan. Makan malamnya dirampas dan perutnya berdarah tertusuk pisau milik salah satu preman.

Pada saat itu Exaudi kira dirinya akan mati. Kalau mati benaran, tidak mengapa juga, sih. Malah ia senang, penderitaannya selama ini akhirnya selesai. Tetapi kemudian datanglah seorang hamba Tuhan dengan segala kebaikan dan kasihnya. Suster Irene. Menyelamatkannya, membawa tubuhnya ke tempat yang aman, memanggilkan dokter dan memberikan tempat berlindung yang hangat. Exaudi Historia tak jadi mati. Ketika siuman, ia sempat berpikir kalau takdir sengaja membuatnya tak jadi mati lewat kebaikan Suster Irene kala itu karena masih ingin Exaudi merana di dunia yang sakit, tapi perlahan-lahan ia mulai sadar kalau takdir sebenarnya ingin memberikan kesempatan pada dirinya untuk merasakan hidup yang lebih baik.

Ternyata takdir baik juga.

Tak lagi hidup di jalanan, Exaudi menjadi bagian anggota panti asuhan yang dinaungi oleh gereja yang merupakan tanggung jawab Suster Irene. Sebenarnya panti asuhan ini diurus beberapa suster, termasuk Suster Irene. Tetapi karena beberapa hal dan kejadian, pada akhirnya seiring berjalannya waktu panti asuhan menjadi tanggung jawab Suster Irene seorang saja. Exaudi kagum dengannya. Tentu bertanggung jawab atas sebuah panti asuhan bukan hal mudah, tapi tak pernah ia lihat Suster Irene mengeluh atau berberat hati. Tak pernah ia menampakkan ekspresi lelah di wajahnya yang teduh itu. Exaudi yang semula begitu kasar perlahan-lahan berubah karena pengaruh dan kasih sayang yang ia dapatkan dari seorang hamba Tuhan bernama Irene. Karena itu Exaudi sangat menyayangi Suster Irene. Bisa jadi menyayangi sang suster lebih dibandingkan hidupnya sendiri. Begitu juga dengan anak-anak panti yang ia anggap sebagai bagian dari hidupnya.

Exaudi masih mengupas wortel. Ini wortel yang terakhir. Setelah semuanya selesai, ia akan memotong wortel-wortel itu menjadi masing-masing bagian yang proporsional lalu memberikannya pada temannya yang sedang mengurusi bahan pelengkap yang lain. Di sela-sela mengerjakan wortel begitu, Exaudi melirik ke arah Suster Irene yang kini sedang mengelap ingus anak panti yang paling muda, Johan. Exaudi tersenyum. Suster Irene seperti malaikat. Sayangnya di punggungnya yang kecil itu tak ada sepasang sayap putih megah yang bercahaya, seperti yang dimiliki oleh para serafim dan kerubim. Tapi bukan berarti karena tak memiliki sayap, Suster Irene bukan malaikat. Boleh jadi ia adalah malaikat tak bersayap. Sama saja, bukan? Setidaknya begitu pikir Exaudi.

Puas memandangi malaikat tak bersayapnya, Exaudi kembali fokus dengan tugasnya. Wortel-wortel ini harus selesai diurus. Ia tidak ingin sup ayam yang akan mereka nikmati bersama-sama nanti kekurangan suatu apapun. Jarang-jarang ia membantu di dapur, maka ia harus memberikan yang terbaik untuk makan malam hari ini.

Setelah mengucap syukur, semua makan dengan bahagia. Exaudi yang duduk di ujung akhir meja juga memakan makanannya dengan gembira. Makan malam memang selalu enak jika dimakan bersama-sama, dengan suasana hangat dan aman. Tak seperti masa lalunya yang kalau mau makan harus cari tempat yang strategis dulu: bebas dari pengemis, tunawisma, dan anjing jalanan yang berpotensi untuk merampas makanannya. Ia masukkan sesendok besar nasi yang basah karena kuah sup yang gurih dan sepotong perkedel ke dalam mulutnya. Hangat dan enak.

Sedang menikmati makanan begitu, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Semua berhenti makan. Suster Irene kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Sebagian ada yang lanjut makan, tapi tidak dengan Exaudi. Dari tempat duduknya, ia mengamati dari jauh.

Ketika pintu terbuka, muncul sesosok pria bertubuh tinggi lengkap dengan jas dan mantel mewahnya.

“Wah, selamat malam. Kuharap aku tidak mengganggu waktu kalian.” ujar pria itu. Kemudian anak-anak bersemangat dan mulai berjalan menyambut pria itu, kecuali Exaudi.

Pria itu adalah Gentleman. Atau setidaknya begitu panggilan akrabnya. Setidaknya begitu yang di kenal oleh rakyat dan kaum elit kota. Gentleman lumayan sering datang ke panti asuhan ini, barangkali hanya sekedar mampir untuk mengobrol atau membawakan hadiah. Tentu kehadirannya tak pernah ditolak karena selain baik, Gentleman juga merupakan salah satu orang berpengaruh di kota dan donatur panti asuhan tempat mereka tinggal. Ada yang bilang ia seorang pebisnis kaya dengan usaha yang tersebar dimana-mana, ada juga yang bilang ia keturunan keluarga bangsawan, dan lain sebagainya. Semua bilang begitu karena ia memiliki harta yang berlimpah. Karena itu juga kehadirannya memberikan pengaruh yang besar bagi sekitar.

Setidaknya begitu yang dilihat orang-orang.

Lihat selengkapnya