"PAMAN, ROTI ISI BAKARNYA SATU."
Begitu kata Exaudi kepada penjual roti isi tengah duduk memandang langit yang membara kemerahan karena matahari yang sebentar lagi akan berkemas-kemas untuk istirahat. Paman itu mengangguk dan berdiri dari duduknya, sigap membuat pesanan Exaudi yang kini mengampil tempat di bangku kayu yang paman itu pakai tadi.
Beberapa waktu lagi malam akan tiba, dan Exaudi masih berada di jalanan. Masih bertanya-tanya apakah ia pulang atau tidak. Pulang enggan, tidak pulang merasa bersalah. Sedaritadi itu saja yang berputar di benaknya. Sampai-sampai perutnya merasa lapar dan akhirnya ia putuskan untuk makan sebentar sebelum kembali berjalan dan mempertanyakan keputusan mana yang harus ia ambil.
“Kau terlihat sangat konyol.” ujar Paman Penjual Roti Isi setelah sekian lama tak ada yang berbicara di antara mereka. Kepala Exaudi yang tertunduk perlahan bangun, menatap ke arah koki roti isi andalannya yang tengah melihatnya dengan ekspresi yang cukup kompleks.
“Seperti yang kau lihat.” jawab Exaudi, tersenyum simpul. Paman Penjual Roti Isi itu tertawa, menyalakan rokoknya menggunakan api yang tengah membakar roti pesanan pelanggannya.
“Bodoh amat sih, kau,” ujar Paman itu. “Tiap kali ke sini, kulihat wajahmu memar terus. Kerjaanmu cuma bertengkar dan bertengkar. Memangnya tidak belajar di sekolah?”
“Belajar, kok,” jawab Exaudi. “Cuma nampaknya aku memang tidak bisa hidup jauh-jauh dari bertengkar.”
Paman Penjual Roti Isi geleng-geleng kepala.
“Kau pasti bertengkar dengan anak-anak pejabat di sekolahmu itu, ‘kan? Pasti tidak jauh-jauh dari itu.” Paman itu menghembuskan napas. Asap rokok keluar dari mulutnya yang kering dan hitam. “Anak-anak pejabat yang berlagak hebat dan tukang merendahkan eksistensi orang. Dan kau malah sok bertingkah heroik di depan teman-temanmu yang lain.”
“...Yang aku lakukan cuma mempertahankan harga diriku.” ujar Exaudi, menatap tajam ke arah Paman Penjual Roti Isi yang menatapnya dengan tatapan yang tak percaya. Baru kali ini ia bertemu, mengenal, dan melayani pelanggan yang seperti ini. Pelanggan yang biasa ia layani cuma sekedar ibu-ibu rumah tangga yang membeli roti isi untuk suaminya makan nanti ketika duduk-duduk di serambi rumah selagi memperhatikan matahari terbenam, orang-orang jalanan yang hanya punya uang yang cuma bisa dibelikan roti isi sebagai pengisi perut mereka yang kelaparan, dan manusia-manusia awam abu-abu lainnya. Tapi bocah ini, bocah berambut api dan bermata langit ini, yang selalu membeli roti isi bakarnya, terkesan begitu keras kepala dan naif.
Seumur-umur hidupnya menjadi seorang penjual roti isi, baru kali ini bertemu dengan seseorang yang baginya konyol sekali. Bisa jadi mengalahkan kekonyolan orang-orang di kampung halamannya yang cuma tahu memelihara ayam dan menanam padi.
“Baru kali ini aku bertemu orang yang seperti dirimu.” ujar Paman Penjual Roti Isi. Sedikit geleng-geleng kepala lalu memilih untuk fokus dengan karyanya yang sedaritadi menunggu untuk dibalikkan. Exaudi yang hendak menjawab perkataan si Paman jadi terdiam. Jadilah ia kembali menunduk, kembali mempertanyakan haruskah ia pulang atau tidak, sementara dunia semakin gelap karena sudah saatnya matahari tidur.
“Nih, bocah nakal,” suara berat si penjual roti mengganggu renungannya, menyodorkan sekantung kertas berisikan roti pesanannya. “Pulang sana. Jangan cuma nunduk seperti orang tak berguna. Jangan buat orang-orang rumahmu khawatir.”
Exaudi melongo. Melihat Paman Penjual Roti Isi yang masih memandangnya dengan raut yang kompleks. Menghembuskan napas, Exaudi bangkit dari duduknya dan mengambil roti itu. Ketika ia hendak merogoh uang dari kantung blazernya, tubuhnya di dorong oleh si penjual roti.
“Hei, uang rotinya.” ujar Exaudi, tetapi penjual roti itu melayangkan tangannya, mengusirnya.
“Pulang sana. Kau terlihat begitu menyedihkan.” dengan itu Exaudi membawa dirinya menjauh dari tempat roti isi itu dengan wajah aneh dan hati yang makin kalut saja. Benar-benar tak ada hal yang bisa ia pahami di hari ini.
Dengan perasaan yang absurd, Exaudi memutuskan untuk memakan roti isinya. Sekilas teringat pada masa lalunya yang berkaitan dengan roti isi. Ia potek bagian atas roti isi itu, memasukkannya ke dalam mulut. Kerenyahan pinggiran roti yang terbakar dan gurihnya daging serta selada yang tersusun rapi di dalamnya bercampur ketika giginya mulai mengunyah.
Enak.
Ia menengok ke atas. Langit kini sudah gelap. Suster Irene dan anak-anak panti mungkin saat ini tengah bersiap untuk memulai makan malam.
Hari ini ada masakan apa, ya?
Memikirkan makan malam, seketika roti isi yang tengah ia kunyah terasa hambar. Mungkin karena sudah terlalu sering menghabiskan waktu makan malam bersama dengan orang-orang yang disayang, sehingga roti isi yang ia makan sendirian di pinggir jalan ini terasa sangat biasa.
Exaudi melihat lamat-lamat wujud roti yang sudah hilang bagiannya setengah itu. Dirinya yang dulu tentu menganggap roti isi ini sebagai sebuah kebahagiaan, tetapi dirinya yang sekarang...
Apakah aku pulang saja? tanyanya pada diri sendiri dalam hati. Angin malam menerpa tubuhnya yang kokoh. Rambut ikal apinya berterbangan pelan. Mata langitnya menatap nanar aspal tak beraturan yang sedang dipijaknya.
Sungguh Exaudi begitu bodoh dan impulsif. Konyol sekali wujudnya di malam yang dingin ini. Barangkali juga Exaudi sadar akan dirinya seperti itu. Tapi ia masih belum tahu harus berbuat apa. Jika ia pulang, maka apa yang akan ia katakan pada Suster Irene? Berkata jujur kalau ia habis memukuli anak pejabat kota bernama Marco sampai mukanya tak lagi berbentuk, dan diberi hadiah oleh sekolah sebuah surat skors 1 bulan? Dan semua itu terjadi karena dirinya yang tak bisa menahan emosi? Apakah saat itu juga ketika ia jujur, Suster Irene akan menjadi murka? Suster Irene menjadi sangat kecewa padanya? Suster Irene akan menamparnya di pipi kiri, karena memang seharusnya ia memberikan pipi itu ketika pipi kanannya sudah merah ditampar orang lain? Apakah ia akan diusir dari panti asuhan karena perilaku bodohnya? Apakah ia akan kembali hidup di jalanan, meninggalkan segala surga dunia yang sebelumnya menjadi tempatnya berlindung dan belajar jadi manusia? Apakah, apakah, apakah...
Memikirkan itu, bulu tengkuk Exaudi merinding. Sangat merinding. Rasanya mau melarikan diri saja. Tetapi jika melarikan diri maka ia akan menjadi manusia paling pecundang di sejarah peradaban manusia. Tak lagi ada harga diri untuknya. Bisa jadi juga ketika ia melarikan diri, suruhan-suruhan bapaknya Marco akan mengejarnya, untuk menangkapnya dan memberikannya pelajaran. Sementara itu Suster Irene dan anak-anak panti lain akan kebingungan di rumah, khawatir karena wujud Exaudi yang mereka sayangi tak kunjung pulang.
Aku harus apa?
Roti isi yang berada di genggamannya masih menganga meminta untuk segera dimakan. Exaudi melirik ke arah roti isi itu. Roti isi itu adalah makan malamnya kali ini. Sudah seharusnya ia menyelesaikannya, ‘kan?
“Uhh, kakak... kalau rotinya tidak dimakan, lebih baik untukku saja... aku sangat lapar...”
Exaudi tersentak. Ditolehnya ke arah suara, didapatinya seorang bocah kecil berbaju lusuh tengah menatapnya dengan mata yang penuh harap.
Bocah itu kotor dan penuh borok. Exaudi bisa melihat ada luka baru yang masih merah di kaki kecilnya. Lusuh sekali. Kembali ia teringat akan dirinya di masa lalu.
“...Kamu mau roti?” tanya Exaudi. Bocah kecil itu mengangguk.
Exaudi menelan ludah. Lama berpikir. Pada akhirnya ia serahkan roti itu ke bocah kecil yang kini wajahnya berseri sekali. Bahagia sekali hanya karena mendapatkan roti isi yang setengahnya hilang karena sudah masuk ke dalam perut Exaudi.
Roti isi itu kini dimakan dengan begitu semangat oleh si bocah kecil. Exaudi menghembuskan napasnya, melihat bocah kecil itu yang kelihatan bersyukur sekali.
“Enak?” tanya Exaudi. Bocah kecil itu mengangguk.
“Enak sekali. Terima kasih, kak.” ujar bocah kecil itu. Exaudi tak menjawab.
“Kakak habis pulang dari sekolah, ya?” bocah kecil itu ternyata berujar lagi. “Aku sering melihat orang-orang seperti kakak menggunakan baju yang begitu. Kata teman-temanku mereka pergi sekolah, dan hanya orang-orang yang terpilih yang bisa pergi ke sana.”
“...Ya, begitu.” ujar Exaudi. Hanya orang-orang yang terpilih yang bisa pergi ke sana. Ya, bisa jadi begitu.
Mata bocah kecil itu seketika berbinar, membuat alis Exaudi sedikit berkedut. “Hebat sekali, kak! Sekolah itu seperti apa? Aku mau tahu!”
“Sekolah itu...” Exaudi berpikir. “Seperti apa, ya...”
Exaudi melirik bingung ke kanan dan ke kiri. Bocah kecil itu masih menatapnya dengan mata yang berbinar. Oh, sial.
“...Aku tidak bisa menjelaskannya kepadamu,” kata Exaudi. “Sekolah terlalu besar untuk diceritakan.”
Bocah kecil itu terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk-angguk. Exaudi menatapnya, melihat betapa lugunya bocah kecil itu. Barangkali ia mengangguk-angguk karena tak mengerti apa yang Exaudi katakan, atau bisa jadi mengangguk-angguk karena setidaknya mendapatkan jawaban.
“Lalu, kakak senang tidak bisa sekolah?” bocah kecil itu ternyata masih berbicara. “Kata teman-temanku di sekolah bisa bertemu orang-orang baru dan belajar pelajaran yang menyenangkan. Kakak pasti senang, ya?”
Mendengar itu, alis milik Exaudi bertaut sempurna. Senang? Bertemu orang-orang baru dan belajar pelajaran yang menyenangkan? Sungguh kata-kata manis yang mengawang. Barangkali mungkin persepsi yang seperti itu yang dimiliki oleh bocah-bocah kecil pengemis yang tak pernah bisa mendapatkan kesempatan untuk belajar dan menjadi manusia di sekolah. Padahal kenyataannya di sekolah terjadi diskriminasi dan hierarki sosial yang begitu nyata. Contoh mudahnya ya seperti apa yang terjadi antara dirinya dan Marco.
Apakah aku senang? Exaudi berpikir tentang apa saja yang ia lalui selama mendapatkan kesempatan menjadi murid sekolahan. Berangkat, belajar, makan di kantin, diganggui oleh Marco dan kawanannya, bertengkar, diomeli guru, bertengkar lagi dengan Marco dan kawanannya kalau masih ada di antara mereka yang belum puas, lalu pulang dengan luka yang bertambah banyak. Sekarang Marco sudah ia buat tak berdaya dan memang ia keluar dari gerbang sekolah dengan luka baru yang segar. Tapi apakah dirinya senang dengan segala pencapaian yang terjadi di hidupnya ini?
“Aku tidak bisa menjawabnya juga.” kata Exaudi. Bocah kecil itu lagi-lagi mengangguk, lalu kembali berkutat dengan roti isinya. Exaudi menengok ke atas. Tak ada awan, tak ada bintang. Hanya bulan yang terlihat begitu bulat dan bercahaya terang.
“Seperti lampu sorot, ya?”
Exaudi menutup mata.
Mungkin dirinya sadar tak lagi bisa bertanya-tanya keputusan mana yang harus ia ambil, maka tiba-tiba Exaudi berjalan menjauhi si bocah kecil. Berjalan ke arah dimana rumahnya—panti asuhannya—berada. Tak sampai beberapa meter bocah kecil berteriak ke arahnya.
“Terima kasih, kak!” ujar bocah kecil itu. “Aku tidak akan pernah melupakan kakak! Kapan-kapan mampir ke rumahku yang ada di bawah kolong jembatan, ya!”
Mendengar itu, Exaudi tak bersuara. Yang ia lakukan hanyalah melambaikan tangannya. Bocah kecil itu lugu sekali untuk mengundangnya ke rumahnya yang berada di bawah kolong jembatan. Orang lain ketika ditawari begitu mungkin jijik dan tak mau, tetapi tidak dengan Exaudi. Ya, mungkin ia akan pergi mengunjungi bocah kecil itu nanti. Barangkali membawa beberapa roti isi bakar.
Pada akhirnya, dengan langkah yang lesu, Exaudi berjalan menuju rumahnya. Barangkali juga orang-orang rumah menunggunya pulang, seperti apa yang dikatakan oleh Paman Penjual Roti Isi tadi.
—
Ketika wujud rumahnya sudah terlihat dari ujung mata, Exaudi melihat bagaimana lampu-lampunya sudah dimatikan semua kecuali lampu temaram yang nampaknya berasal dari ruang tamu. Exaudi meneguk ludah. Mungkinkah lampu itu menyala karena ada Suster Irene yang menunggunya pulang?
Jika benar Suster Irene menunggunya, maka tidak ada lagi yang harus dibuat-buat atau disembunyikan oleh Exaudi. Percuma juga menyembunyikan sesuatu, karena ujung-ujungnya kalau disembunyikan Suster Irene bakal tahu sendiri. Menahan napas, Exaudi membuka pagar panti dengan begitu hati-hati. Suara pagar yang berdecit membuatnya meringis.
Cepat-cepat ia tutup kembali gerbang itu dan berjalan menuju pintu depan. Ia buka sepatu dan kaus kakinya, lalu menaruhnya di atas rak. Memutar gagang pintu, dan matanya langsung disambut oleh Suster Irene yang tengah duduk di sofa tamu dengan mata yang tertutup.
Mata Exaudi bergetar.
“Suster,” ujar Exaudi, pelan sekali. “...Aku pulang.”
Mata Suster Irene yang tertutup perlahan-lahan terbuka. Sepertinya tak sengaja ketiduran ketika sedang menunggu kepulangan anak asuhnya. Saat dua bola mata hitam itu tersadar, langsung ia berdiri ketika yang ia tunggu-tunggu akhirnya sampai juga ke rumah.
“Exaudi!” seru Suster Irene. Ia berjalan menuju Exaudi yang menggenggam tali ranselnya.
“Oh, Tuhan,” tak disangka, Suster Irene malah memeluknya. Exaudi melotot. “Syukurlah kamu baik-baik saja, Audi...”
Exaudi terdiam. Hatinya ngilu seketika. Sungguh ia orang paling kurang ajar dan tak tahu diuntung sedunia. Ia membuat malaikat tak bersayapnya khawatir dan bersedih hanya karena perilaku bodohnya sendiri.
“Suster...” panggil Exaudi pelan.
“Kamu kemana saja, nak?” tanya Suster Irene, melepaskan rengkuhannya. Dilihatnya wajah anak asuhnya yang begitu menyedihkan. Luka-luka yang kemarin ia obati masih belum sembuh. Ketika pandangannya berpindah, di dapatinya punggung kedua kepalan anak asuhannya terlihat begitu merah. Luka baru lagi.
Exaudi menggigit bibir bawahnya. Tak kuasa untuk bertatapan dengan Suster Irene. Sungguh, ia orang paling tak berguna di dunia.
“Maaf, Suster...” ujar Exaudi, menunduk. Melihat itu, Suster Irene terhenyak. Sungguh, ada banyak sekali hal yang ia ingin tanyakan.
“...Suster akan menyiapkan obat untuk lukamu,” ujar Suster Irene. Mengusap kepala api itu dengan lembut. “Kamu bersihkan dirimu dulu, ya?”