DI HARI ULANG TAHUNNYA YANG KE-8, Samuel Yehuda melarikan diri dari rumah. Putra tunggal pejabat kota kabur di malam hari tanpa membawa sepeser uang atau ransel yang seharusnya bisa saja ia isikan baju dan uang dari tabungannya.
Rencana kabur dari rumah ini sudah ia angan-angankan dari jauh-jauh hari. Ia ingin sekali keluar dari mansion megah tak bermakna yang dingin dan tak ada kasih sayang itu. Bapaknya tipikal pejabat kota yang jarang pulang ke rumah dan tak pernah memberikannya apa-apa tentang kasih sayang orang tua. Pernah beberapa kali ia mengintip dari lantai atas, dilihatnya lelaki paruh baya itu masuk ke dalam rumah dengan wanita yang berbeda-beda setiap malamnya. Memang bapaknya bukan laki-laki yang setia. Selalu begitu sejak membangun rumah tangga dengan mendiang ibunya. Biasanya setelah menyaksikan bapaknya membawa pulang wanita muda begitu, ia akan masuk ke dalam kamarnya, duduk di kursi di depan jendela. Setengah merenung dan setengah melihat ke langit.
Ia ingin hidup bebas seperti sebagaimana orang yang hidup dalam kebebasan—tidak terikat oleh apapun, dan tidak usah memikirkan apapun. Memang pola pikir yang seperti ini agak tidak wajar untuk berada dalam benak seorang bocah yang umurnya baru 1 digit. Atau setidaknya begitu pandangan orang-orang. Tetapi bisa jadi memang Samuel Yehuda berbeda dengan bocah-bocah seumurannya yang lain, makanya ia berpikir begini. Ia menginginkan kebebasan.
Maka mulailah ia menyusun rencana bagaimana ia akan menjalani hidupnya nanti. Baginya sungguh tak berguna tumbuh besar dalam sebuah mansion yang hening dan tanpa mendapatkan kasih sayang dari bapaknya yang nampaknya lebih suka memberikan kasih sayang kepada wanita-wanita muda dibandingkan anaknya sendiri.
Di malam ulang tahunnya yang ke-8, Samuel Yehuda kabur dari rumahnya. Kabur untuk selamanya. Hanya membawa diri yang mengenakan baju yang ia anggap paling biasa dan paling lusuh, ia kabur dari rumah dengan memanjat dinding belakang. Cuma bagian belakang yang tidak dijaga oleh pengawal-pengawal budak bapaknya, entah mengapa. Mungkin mereka terlalu malas untuk berjalan ke bagian belakang. Samuel Yehuda juga sudah bekerja sama dengan para pembantu yang tinggal di bagian belakang mansion untuk tutup mulut, memberikan masing-masing sekantong uang yang lebih dari cukup sebagai jaminan, karena tak ada yang lebih ampuh selain uang untuk membuat manusia menjaga rahasia. Para pembantu itu juga nampaknya mengerti keinginan Samuel Yehuda dan bersimpati dengannya, maka mereka mengiyakan permintaan tuan muda mereka itu untuk bersikap tidak tahu jika ditanya kemana perginya putra tunggal pejabat kota itu.
Jadilah Samuel Yehuda hidup di jalanan. Menghidupi kebebasan yang selama ini ia dambakan. Meski dirinya tahu kalau hidup di jalanan sungguh tidak indah, tetapi ia bahagia.
Di jalanan Samuel Yehuda mendapatkan hidupnya yang baru sebagai bagian dari orang-orang kecil yang menjadikan kolong jembatan sebagai tempat tinggal mereka. Begitu guyub dan tak pernah ada tenggang rasa. Semua sama-sama susah dan sama-sama tertawa. Diajari oleh teman-teman sebaya, Samuel Yehuda belajar bermain gitar sebagai modal untuk mengamen. Sebagai gantinya Samuel Yehuda mengajari teman-temannya membaca dan berhitung. Sekecil-kecilnya kita sebagai orang jalanan, setidaknya harus bisa membaca dan berhitung, begitu kata Samuel Yehuda pada teman-temannya.
Sampai suatu hari, ketika baru pulang mengamen di stasiun bawah tanah, salah seorang teman berujar padanya.
“Sam,”
“Ya?”
“Kayaknya namamu terlalu bagus, deh.”
Samuel Yehuda yang sedang genjreng-genjreng tidak jelas menoleh. “Maksudnya?”
“Iya, namamu terlalu bagus. Terlalu berat. Apalagi untuk anak jalanan seperti kita yang lusuh dan borokan.” mendengar itu Samuel Yehuda diam, tapi kemudian tertawa. Temannya juga tertawa.
“Eh, iya juga, ya. Aku baru sadar.” kata Samuel Yehuda. Temannya mengangguk-angguk.
“Iya, ‘kan?” lanjut temannya. “Kamu harus ganti nama. Lagi pula namamu itu kentara sekali nama milik orang-orang kaya. Apalagi kamu anak pejabat yang kabur dari rumah. Kalau misalnya tiba-tiba orang suruhan bapakmu datang untuk membawamu pulang karena namamu, ya gawat.”
Samuel Yehuda mengangguk-angguk. Ia setuju dengan perkataan temannya itu. Nampaknya ia harus mencari nama baru. Nama itu sendiri juga baginya terlalu bagus. Terlalu tinggi. Sekilas ambisius. Ia tidak tahu mengapa ia diberikan nama yang begitu, entah juga siapa yang menamainya. Tidak mungkin bapaknya, tapi sangat mungkin mendiang ibunya. Ah, tapi siapa peduli. Baginya nama Samuel Yehuda terlalu berat untuk orang sepertinya. Ia harus segera mengganti nama. Tapi ia tak mau nama barunya nanti cuma sekadar nama biasa yang tak memiliki makna apa-apa.
Lalu ia tiba-tiba teringat akan satu nama tokoh kesukaannya.
Sukab.
Nama itu sederhana dan sangat melambangkan rakyat. Nama itu juga melambangkan kebebasan dan hidup yang penuh gelora. Seperti hidup yang tengah ia jalani sekarang ini. Sukab adalah sebuah tokoh yang dibuat oleh seorang penulis cerpen kegemarannya. Sukab bisa menjelma menjadi tokoh apa saja: peselancar, musafir, anak muda, supir, atau bahkan cuma tokoh yang sekadar lewat. Bebas, tak terikat. Ia mengagumi tokoh Sukab sejak pertama kali ia mengetahui tokoh itu. Nampaknya nama Sukab akan menjadi nama yang cocok.
Tapi, ah... anak jalanan sepertinya tak pantas memiliki nama Sukab yang multitalenta dan ternama. Samuel Yehuda juga tidak tahu bagaimana caranya meminta izin kepada si penulis untuk menggunakan Sukab sebagai nama barunya. Ia takut melanggar hak cipta. Tetapi Samuel Yehuda sangat suka akan nama itu. Maka ia berpikir, berpikir, dan berpikir.
Sampai akhirnya ia mendapat ide.
Dari nama Sukab, ia ubah ejaannya menjadi terbalik.
Bakus.
Dan sejak saat itu, semua memanggilnya Bakus. Samuel Yehuda tak lagi disebut-sebut, dan kemudian menjadi bagian dari masa lalu.
Kini Bakus lahir sebagai jiwa yang baru. Jiwa yang penuh kebanggaan. Bangga akan namanya, tentu. Dengan nama yang baru, Bakus melalui hari-harinya dengan semangat yang lebih besar. Mengamen di stasiun bawah tanah, berlari dari kejaran pemilik toko roti yang sering ia curi roti tawarnya bersama dengan teman-temannya, atau menumpang truk barang dan membiarkan truk itu membawa raganya ke berbagai tempat. Kadang juga ikut meramaikan suasana kalau misalnya orang-orang kecil kembali bentrok dengan aparat-aparat pemerintah. Biasanya ia di situ jadi bagian penyemangat, bermain gitar sambil melantunkan lagu-lagu revolusioner yang akan membuat jiwa-jiwa kawan sepenanggungannya semakin bergelora.
Hari ini juga tak ada bedanya dengan hari yang lalu-lalu. Masih seru dan menyenangkan seperti biasa. Mungkin ada yang beda sedikit, hari ini ia mengamen sendirian. Teman mengamennya sedang sakit jadi tidak bisa ikut. Jam 7 malam ia selesai mengamen, dan mendapatkan uang 40 ribu sebagai upah atas tenaga yang ia kerahkan hari ini. Jelas uang 40 ribu itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan akan ia bagi-bagi dengan teman-temannya yang lain. Nanti juga ia akan menyisihkan beberapa untuk membeli obat bagi temannya yang sakit.
Bakus berjalan dengan santai. Langit perlahan-lahan mulai berubah warnanya, menandakan sebentar lagi matahari akan kembali ke kamarnya untuk tidur. Ia berjalan melewati kios penjual roti isi. Kios itu menjual roti yang sangat enak, tetapi harganya lumayan mahal sehingga Bakus tak pernah lagi membelinya, hanya sekali saja karena waktu itu patungan dengan teman-temannya.
Masih dengan mata yang agak terpaku pada kios roti isi, kaki kecil Bakus terus berjalan membawa tubuhnya pergi. Perutnya kerocongan sekali. Nampaknya hari ini akan makan mie instan lagi. Tidak apa. Mie instan enak, kok. Harganya juga merakyat.
Tapi ketika sedang berpikir begitu, suatu pemandangan membuat langkahnya terhenti.
Dilihatnya seseorang bertubuh tinggi tengah terdiam di pinggir trotoar, tangannya memegang roti isi bakar yang bagiannya sudah hilang setengah. Bakus jadi memperhatikan orang itu.
Rambutnya ikal dan merah membara seperti api. Pakaian yang dikenakannya mengkilat dan bersih. Seragam sekolah. Pakaian yang biasanya dikenakan oleh pelajar-pelajar. Bakus tidak pernah tahu bagaimana rasanya mengenakan seragam sekolah meski dirinya—mantan—anak pejabat kota. Ia belajar di rumah dengan tutor membosankan pesanan bapaknya. Pelajarannya juga begitu-begitu saja. Kadang tutor itu malah tidak datang, barangkali merasa sia-sia untuk meladeni seorang anak pejabat yang lebih suka membaca buku cerita dan berkhayal tentang kebebasan ketimbang belajar rumus-rumus eksak dan tata krama. Bakus cuma bisa melihat seragam sekolah kalau misalnya sedang keluar rumah untuk menemani acara-acara penting bapaknya—sebagai bentuk formalitas, tentu—dengan pejabat-pejabat lain. Dari dalam kaca mobil, ia bisa melihat bagaimana para pelajar dengan seragam mereka berjalan dengan ransel di punggung. Terlihat wajah-wajah calon manusia yang memiliki masa depan yang cerah. Bisa jadi ada yang kerja di bawah pemerintah, ada yang kerja di perusahaan mewah dan barangkali juga ada yang kerja untuk masyarakat. Tapi ia rasa hanya segelintir orang yang mau bekerja untuk masyarakat, karena gajinya yang tak seberapa dengan orang-orang yang menjadi bidak pemerintah dan perusahaan mewah.
Tapi kakak satu ini, yang berambut merah seperti api ini, tidak kelihatan seperti pelajar-pelajar lain yang biasa ia lihat. Kakak satu ini terlihat begitu berbeda. Tak terbayang baginya jika orang yang begitu mencolok seperti kakak satu ini akan bekerja di bawah pemerintahan atau perusahaan mewah. Tidak, tidak mungkin. Tidak akan juga, kayaknya. Kesan yang diberikan tidak cocok untuk menjadi orang yang seperti itu. Kakak yang satu ini memberikan sebuah kesan: tidak mau berada dalam situasi yang tidak adil dan tidak mau menjadi sesuatu yang abu-abu dan tidak berprinsip.
Melihat dari belakang saja Bakus bisa merasakan bagaimana kehadiran kakak rambut api satu ini sangat memberikan kesan. Padahal ia cuma melihatnya dari jauh, dan agak kurang jelas juga karena sudah malam. Tapi di balik kesan kuat itu nampaknya ada kebimbangan yang terselip. Kelihatan sekali kebimbangannya itu. Lagi pula, mana ada orang yang merenung di pinggir jalan pada malam hari dengan sebuah roti isi bakar di genggamannya? Roti isi bakar yang enak kini cuma jadi pajangan karena si empunya terlarut dalam sesuatu yang sedang dialaminya.
Sayang amat, pikir Bakus melihat roti isi bakar itu.
Karena ia tak mau roti isi bakar itu berakhir menjadi sebuah kesia-siaan dan perutnya sudah terlanjur menggelar pentas, maka ia berjalan mendekati si kakak berambut api dan memberanikan diri untuk bersuara.
“Uhh, kakak... kalau rotinya tidak dimakan, lebih baik untukku saja... aku sangat lapar...”
Bakus agak kaget ketika melihat kakak berambut api itu tersentak kemudian menoleh begitu cepat. Barulah terlihat jelas wajahnya. Wajah keras seorang petarung. Terlebih lagi sorot mata yang tajam itu. Mata yang serupa langit itu menatapnya seakan-akan ingin menusuknya.
Tapi Bakus berharap sekali kakak berambut api itu akan memberikannya roti isi yang cuma jadi pajangan itu. Sungguh, ia lapar sekali.
“...Kamu mau roti?” ternyata kakak berambut api itu menyahut perkataannya. Mendengar itu, Bakus mengangguk.
Terlihat kakak berambut api itu tengah terdiam, berpikir-pikir. Mungkin nampaknya kakak itu juga sedang merasakan rasa lapar yang sama dengannya sehingga agak tidak rela memberikan roti isi miliknya, tetapi kemudian roti isi itu berpindah juga ke tangannya. Bakus menerimanya dengan wajah yang berseri-seri. Sungguh, kakak berambut api ini baik sekali!
Kemudian roti isi itu ia makan. Rasanya enak sekali. Rasa yang kembali ia rasakan setelah memakan roti isi yang sama terakhir kali hasil patungan bersama dengan teman-temannya. Agak sedikit di dalam hatinya ia merasa bersalah karena makanan seenak ini cuma dirinya seorang yang menikmati, tetapi apa mau dikata sudah lapar sekali. Semoga teman-temannya memaklumi.
“Enak?” terdengar suara kakak berambut api itu bertanya padanya. Jelas Bakus mengangguk.
“Enak sekali. Terima kasih, kak.” jawabnya. Kakak berambut api itu tidak menyahut.
Sungguh, seragam sekolah yang dikenakan kakak berambut api ini benar-benar rapi. Bakus tidak bisa tidak terpesona dibuatnya. Maka dari itu ia menyuarakan apa yang ingin ia ketahui sedaritadi. “Kakak habis pulang dari sekolah, ya? Aku sering melihat orang-orang seperti kakak menggunakan baju yang begitu. Kata teman-temanku mereka pergi sekolah, dan hanya orang-orang terpilih yang bisa pergi ke sana.”
Dilihatnya sang kakak berambut api melihatnya dengan tatapan yang kompleks. Seperti tengah bertanya pada diri sendiri. Setelah lama terdiam, akhirnya kakak itu menjawab juga. “...Ya, begitu.”
“Hebat sekali, kak! Sekolah itu seperti apa? Aku ingin tahu!” Bakus berujar bahagia. Ia benar-benar berbicara kepada orang yang pergi sekolah! Luar biasa.
“Sekolah itu...” kakak berambut api terlihat menimang-nimang jawaban. “Seperti apa, ya...”
Lalu ia melihat ke kanan dan ke kiri, seperti tengah mencari jawaban. Pada akhirnya ia memberikan jawaban yang agak mengecewakan bagi Bakus.
“...Aku tidak bisa menceritakannya kepadamu. Sekolah terlalu besar untuk diceritakan.”
Mendengar itu, Bakus terdiam namun pada akhirnya mengangguk-angguk. Sebenarnya tak ada yang tak bisa diceritakan. Begitu banyak hal sepele yang diceritakan oleh mulut-mulut manusia. Seperti harga rokok yang naik atau mie instan rasa apa yang paling enak. Jika hal sekecil itu dapat ceritakan, maka sekolah—yang bagi kakak berambut api itu terlalu besar untuk diceritakan—tentu bisa diceritakan. Tetapi mungkin pertanyaannya tentang sekolah tadi membuat kakak berambut api merasa tidak nyaman, makanya jawabannya begitu. Ya sudah, apa boleh buat.
“Lalu, kakak senang tidak bisa sekolah?” Bakus bertanya lagi, kali ini ia berharap pertanyaannya mendapatkan jawaban yang lebih baik. “Kata teman-temanku di sekolah bisa bertemu orang-orang baru dan belajar pelajaran yang menyenangkan. Kakak pasti senang, ya?”
Tapi kakak berambut api itu terdiam lagi. Kali ini nampaknya ia merenung. Melihat pemandangan itu Bakus merasa bingung. Sesusah itukah menjawab pertanyaan yang seharusnya mudah? Tapi lagi-lagi Bakus berpikir, mungkin memang ada sesuatu yang membuat kakak berambut api ini tidak nyaman akan pertanyaan-pertanyaannya.
“Aku tidak bisa menjawabnya juga.” jawabannya kali ini tidak ada bedanya dengan yang tadi. Bakus pada akhirnya memilih mengangguk, lalu kembali memakan roti isinya.
Kakak berambut api itu kini menatap ke atas langit. Netra biru itu memandangi bulan khidmat sekali. Kemudian kakak berambut api itu berjalan pergi. Bakus memperhatikannya dari belakang.
Bakus merasa takdir akan mempertemukannya lagi dengan kakak berambut api yang baik hati itu, sehingga ia berujar nyaring. “Terima kasih, kak! Aku tidak akan pernah melupakan kakak! Kapan-kapan mampir ke rumahku yang ada di kolong jembatan, ya!”
Kakak itu tak menoleh dan tak bersuara, tetapi melambaikan tangannya. Melihat itu, Bakus tersenyum. Orang normal biasanya ogah dan merasa tidak nyaman jika diajak untuk berkunjung ke sebuah rumah yang berupa kolong jembatan. Ya iyalah, siapa juga yang mau main ke kolong jembatan. Tetapi Bakus yakin sekali kakak yang satu ini tidak seperti orang-orang yang lain. Cepat atau lambat, kakak ini pasti akan mengunjungi rumahnya, karena takdir akan mempertemukan mereka kembali.
—
Memang benar takdir akan mempertemukan mereka kembali.
Nyatanya ketika Bakus sedang bermain gundu bersama teman-temannya, kakak berambut api itu datang membawa roti isi bakar dan sebotol air putih. Bakus tidak bisa berhenti tersenyum ketika menerima hadiah itu. Apalagi ketika kakak berambut api itu berkata kalau hadiahnya boleh dibagi-bagi dengan teman yang lain kalau mereka mau. Sungguh, siapa yang tidak mau?
Sungguh, kakak berambut api ini orang yang baik. Meski penampilannya keras dan teguh begitu, hatinya hangat. Jarang-jarang Bakus bisa bertemu dengan orang kota yang sebaik kakak berambut api ini. Biasanya orang-orang kota selalu memandang rendah orang-orang kecil sepertinya, tetapi tidak dengan kakak ini. Memang benar dugaannya kalau kakak berambut api ini berbeda dari yang lain.