Pukul sepuluh malam. Waktu yang kutetapkan untuk melakukan kegiatan dansa perayaan ini.
Di atap rumah sakit.
Setelahku memutuskan untuk tidak menjenguk Stella sebagai Julan. Dan terus menjadi Ian hingga jam besuk selesai. Yang saat jam besuk benar-benar telah selesai. Terlihat dari wajahnya, Stella terlihat sedikit menyayangkan akan ketidak hadiranku sebagai Julan untuk menjenguknya pada hari ini bahkan hingga jam besuk selesai.
Mungkin saja bayanganku ataupun ada hal lain yang dipikirkan Stella sehingga dirinya seperti itu.
Namun tepat setelah jam besuk selesai dan kami berdua bersiap menuju ke atap rumah sakit. Wajah sedih yang diperlihatkan sebelumnya, telah benar-benar menghilang. Dan menjadi sebuah ekspresi senang dan berdebar-debar akan hal ini.
Kemudian…
Membawa Stella ke sana dengan kursi roda yang sebelumnya digunakan. Lalu menggunakan lift agar kami bisa berdua naik ke atas. Dan ketika berada di depan pintu menuju ke atap, aku lalu mengeluarkan kunci dari sakuku.
Kunci pintu atap yang sebelumnya telah diberikan kepadaku, setelah benar-benar mendapatkan izin dari rumah sakit melalui si suster sebelumnya.
Mulai membuka pintu atap rumah sakit, sambil mendorong Stella, aku lanjut berjalan. Keluar menuju ke atap rumah sakit, yang ketika aku berada di luar, saat angin malam juga menerpaku aku lalu melihat...
Di atas rumah sakit saat ini, sebuah keindahan malam yang bagiku jarang ada.
Meski dengan pencahayaan yang cukup redup. Lantai-lantai yang beberapa terlihat retak dan rusak. Dan lumut lalu tanaman liar yang terlihat di ujung-ujung atap. Namun menapik kekurangan yang ada, keindahan dan kelebihan yang ada di sana sangatlah membuatku benar-benar menikmati tempat ini.
Bintang dan bulan yang terlihat begitu terang dari biasanya, seolah menjadi pencahayaan di sini. Angin malam yang menerpa diriku dan Stella, yang bagiku cukup dingin namun menyejukkan. Dan cahaya malam kota yang menjadi pemandangan dari kejauhan, yang merupakan kelebihan dan keindahan utama dari atap rumah sakit ini.
Melihat itu semua sembari memikirkan akan dansa yang akan kami lakukan di tempat ini. Sebuah ingatan tanpa sadar mengalir dalam pikiranku.
Semenjak menginjak SMP.
Ayah dan Ibu lalu mengikutsertakan aku beserta Ian untuk belajar dansa. Entah karena alasan apa Ayah dan Ibu melakukannya, namun asalkan bisa membuat mereka senang. Akupun melakukannya tanpa pikir panjang.
Pada awalnya aku maupun Ian masihlah sama-sama pemula dalam berdansa.
Namun seiring waktu berlalu, dengan kejeniusan dari Ian. Kemampuan dansanya lalu menjadi perhatian banyak orang, termasuk orang yang mengajar kami dansa.
Sedangkan aku…
“Mengapa kamu masih salah di sana Julan!? Tidak seperti Ian!”
“Bukan begitu caranya Julan! Ikutilah seperti yang Ian lakukan!”
Dengan berbagai pembanding yang seolah telah menjadi makanan seharianku dari orang-orang sekitarku. Pada akhirnya pun juga kurasakan dalam latihan dansa ku. Namun tetap saja terus kulakukan hingga aku sampai jago melakukannya. Dan itu semua demi Ayah dan Ibu yang telah menyuruhku untuk latihan dansa.
Namun sebelumku sampai terlalu mahir dalam berdansa, tragedi itu kemudian terjadi pada Ayah dan Ibu. Dengan ke sia-siaan yang kurasakan akan latihan dansa yang kulakukan ini
Yang semenjak hari itu pula, aku sudah tidak pernah lagi untuk latihan dansa lagi.
Setelah mengingat itu semua kembali. Dalam hati aku lalu tidak menyangka, akan dansa yang kupikirnya kulakukan untuk Ayah dan Ibu dulunya. Sekarang ini, akan kulakukan kembali. Dan kali ini kulakukan untuk Stella.
Dalam pikirku kalau hal ini benar-benar sebuah kebetulan yang luar biasa.
“Apakah pemandangannya begitu indah, Ian?” tanya Stella yang lalu membuyarkanku dari pikiranku. Dan denganku yang senyum senang memikirkan kebetulan tersebut, yang aku lalu menjawab.
“Iya Stella. Bagiku pemandangannya begitu indah.”