Esok paginya.
Sebuah ledakan kebahagiaan yang sekarang ini kurasakan. Setelah dansa yang aku dan Stella lakukan pada semalam. Benar-benar menjadi sebuah kenangan dan hal terindah bagiku kala memikirkannya.
Yang pada hari ini pun, ketika sepertinya biasanya aku pergi saat pagi buta. Sebelum keberangkatanku ke kantor, aku lalu terlebih dahulu menjenguk Stella di rumah sakit.
Beranjak dari apartemenku, menaiki taksi seperti biasanya, dan menuju ke rumah sakit tempat Stella dirawat. Perjalananku ke sana seperti biasanya. Atau malahan, terasa begitu menyenangkan karena suatu hal. Yang tidak lain, dikarenakan dansa yang telah aku dan Stella lakukan semalam.
Dengan perasaan seperti itu selama perjalanan, hingga ketika sampai di rumah sakit. Rasa senangku ini, seolah begitu tak tertahankan dan ingin sekali kulampiaskan dengan menemani Stella di kamarnya sekarang.
Berada di lorong, tempat ruangan Stella berada. Berlawanan dari arahku datang, sosok seorang pria, yang terlihat begitu familiar bagiku. Dengan setelan jas hitam rapinya dan juga boquet bunga tulip yang tengah dipegangnya.
Dan yang paling menonjol dari dirinya, tidak lain adalah sebuah kemiripan yang luar biasa dari wajahnya yang sama persis dengan diriku.
Ian, adalah sosok yang kumaksud tersebut. Saudara kembarku.
Pandangan kami lalu saling bertemu. Menghasilkan kesunyian sementara diantara kami. Dari rasa senang dan bahagia karena mengingat kejadianku dengan Stella semalam. Kini berganti dengan perasaan kesal, marah, dan murkah kepada sosok yang berada di hadapanku ini.
Namun akhirnya, kumenahannya agar moodku saat ini tidak luntur ketika menemui Stella lagi akhirnya.
“Kenapa kamu datang ke sini Ian?!” tanyaku sinis sembari menatap tajam ke arah dirinya.
Ian lalu tersenyum aneh ke arahku. Yang lalu dirinya menjawab.
“Loh… bukannya kamu sebelumnya menyuruhku untuk menemui dan menemani Stella bukan…?! Dan sekarang… aku ingin memenuhi permintaanmu itu.”
Aku lalu memalingkan pandangan. Tidak ingin mendengarkan alasan yang disampaikannya, yang bagiku begitu penuh dengan buaian dan omong kosongnya.
“Padahal berminggu-minggu kau tidak datang, dengan alasan pekerjaan dan kesibukanmu…! Dan sekarang… layaknya seseorang yang tidak berdosa atau memiliki kesalahan apa-apa, kau datang ke sini sambil membawa bunga?! Kau memang hebat sekali Ian…!” sindirku dengan tegas.
“Apa kau pikir aku berbohong perihal pekerjaanku Julan?! Tentu sajakan aku sibuk dengan pekerjaanku. Dan untuk sekarang ini saja, pekerjaaanku sedang longgar-longgarnya. Apa memang ada yang salah?!” tanya nya dengan menatap balik diriku kembali dengan tatapan tajam.
Aku hanya terdiam. Bukan karena tidak bisa mengomentari lagi apa yang dikatakan Ian. Tapi lebih tepatnya, agar meredam tindakanku yang seperti mengusir dirinya dari sini dan sejenisnya. Mengingat tindakan dirinya selama ini.
Namun, sekeras apapun keinginanku untuk melakukannya. Tetap saja, dirinya adalah sosok yang dinanti-nantikan oleh Stella.
Sosok yang telah ditunggu-tunggunya selama ini. Dan bukan aku, yang dimana hanyalah pengganti sosok dihadapanku ini.
Akupun juga telah mengukir di dalam diriku. Dimana, aku akan menjadi Ian, hingga dirinya telah benar-benar datang dan menemui Stella.
Dan sekarang, hari itu akhirnya tiba.
Menghela napas singkat untukku meredam pikiran burukku sebelumnya, yang lalu aku jawab dengan datar.
“Terserah kau saja... Lagipun kau ini adalah tunangan dari Stella…. Pastinya sebagai tunangannya kau mesti menjenguknya.”
Mendengar perkataanku, seolah Ian menatapku dengan curiga. Dengan mata sinisnya yang mengarah padaku, seolah tidak percaya dengan apa yang kusampaikan ke dirinya sebelumnya.
“Ba-iklah…” jawab Ian dengan ragu.
Dirinya mulai berjalan kembali mendekati pintu ruangan Stella berada. Yang dari saat telah berada di dalam, wajahnya seketika menampakkan keramahan seperti yang biasa ia lakukan.
Aku lalu berjalan di belakangnya. Mengikuti dirinya masuk ke dalam ruangan Stella.
“Siapa di sana…?” tanya Stella yang melandai ramah seperti biasanya.
“Ini aku Stella, Julan,” jawabku singkat.
“Ohh… kamu Julan!? Tumben kamu datangnya lebih pagi dari biasanya,” sapa Stella yang cukup kaget.
“Kebetulan aku ada rapat pagi. Jadinya supaya tidak terlambat, aku pikir untuk menjengukmu pagi-pagi begini,” jawabku dengan berbohong kesekian kalinya.
“Ternyata begitu…”