Ian's Stories: My True Happines

Muh Fajrin
Chapter #29

EPILOGUE

“Haahhh….”

Menghela napas setelah apa yang terjadi. Seperti yang kukatakan, dengan waktu yang sekali lagi tak menungguku. Dan tanpa sadar, sudah beberapa tahun semenjak mataku telah kuberikan kepadanya.

Berada di teras, aku terduduk pada salah satu kursi di sana. 

Merasakan dan menikmati angin luar dan sinar matahari yang menerpaku. Namun dalam pandanganku yang begitu gelap dan tak terlihat apa-apa.

Walau begitu, perasaan yang kurasakan bersama-samanya, semenjak mata ini terambil, tetap kurasakan saat ini. Sangat terjaga, hingga saat ini.

Menjadi sebuah hiburan utamaku layaknya hiburan televisi. Saat dimana diriku bosan, ingatan dan kenanganku saat bersama Stella lah yang menjadi siarannya.

Dan kali ini, saat mencoba menikmati suasana alami dari teras belakang rumah, diriku mengingat kembali kenanganku bersama Stella, menari di atap gedung dengan sinar bulan dan bintang yang menyinari tarian kami.

Setiap detik pada waktu itu, setiap detail saat di sana, dan setiap ekspresi yang Stella perlihatkan pada wajahnya. Begitu teringat dan terukir begitu jelas dalam pikiranku. Dalam ingatanku sekarang ini, bahkan hal itu sudah entah berapa lama.

“Benar-benar hal luar biasa…”

Suara bel lalu terdengar dari pintu depan yang membuatku seketika menyadarinya.  

“Mbak! Sepertinya ada orang di depan. Bisa mbak lihat..?” aku lalu memanggil si mbak, yang jam begini biasanya dirinya sedang memasak.

“Ah iya mas Ian. Sebentar saya matikan kompor dulu.”

Mendengar balasan mbak akupun bersandar kembali ke kursi tempatku duduk. Bersantai lalu menikmati kembali suasana yang ada dengan tenang.

Denganku yang mencoba mengingat kembali akan kapan terakhir kali bunyi bel rumah ini berbunyi. Itupun untuk orang-orang yang datang, kalaulah bukan sales yang menawarkan barang, asuransi, ataupun orang dari badan amal.

Dan setiap kali begitu, tentunya aku meminta mbak untuk menolak itu semua. Sedangkan untuk sumbangan sendiri, aku memberitahu si mbak untuk memberi sumbangan mereka sebisa mungkin.

Singkatnya segala hal mengenai sesuatu seperti itu, diriku sudah memberitahu ke mbak tentang hal yang mesti dilakukan.

Mengenai si mbak. Mungkin karena sudah sangat lama tinggal dan mengurusku, bisa kukatakan sikapnya selama ini cukup baik padaku.

Melakukan segala apapun yang aku minta, selalu bertanya apabila dirinya ingin suatu hal dan berbagai macam lainnya. Yang bisa kukatakan, sikapnya tersebut begitu baik dan bagus.

Mungkin saja dirinya melakukannya karena pekerjaan dan juga karena ancaman Ian. Yang meski begitu, akupun juga membalasnya dengan hal yang sama.

Kemudian mengenai Ian.

Semenjak hari itu, dirinya pun sudah tidak ke sini. Entah karena dirinya menjauhiku karena aku adalah pusat kesengsaraan baginya, ataupun karena kehidupan bahagia yang sedang di alaminya sekarang. Namun apapun itu, selain dirinya yang mengirimkan biaya hidupku di sini, tidak ada lagi hal atau berita yang kudengar darinya.

Dan layaknya Ian, kabar mengenai Stella pun juga sama sekali tidak kuketahui lagi.

Entah itu keadaannya ataupun kehidupannya sekarang ini. Selain dugaan yang selama ini menjadi pikiranku, juga harapanku akan kebahagiaan dalam kehidupannya selama bertahun-tahun ini.

ingatan saat bersamanya. Yang membuatku selalu berharap bahwa Stella bisa mendapatkan kehidupan bahagia yang selalu dirinya harapkan.

“Ehh...pak Julan.”

Suara si mbak yang terdengar olehku. Membuyarkanku dari berbagai pikiranku yang ada.

 Cukup dekat denganku dan membuatku berpikir kalau mbak sekarang ini ada di dekatku.

“Ada apa mbak?” aku berbalik ke arah dugaku si mbak berada.

“Begini mas, Ada yang ingin ketemu dengan mas…”

“Huh?!” refleksku kaget. Bingung pada saat itu juga, dan bertanya-tanya akan orang yang dimaksud si mbak. “Memangnya siapa mbak? Mbak tahu si tamunya siapa?”

Hanya suara tanpa makna yang kudengar dari mbak. Seperti ingin berkata namun seolah susah untuk mengatakannya.

“Ummhh… Mengenai itu mas Julan…”

Saat itu, sebuah langka lalu terdengar mendekat, yang begitu cepat malahan seperti berlari. Yang lalu terhenti tepat berada di sampingku. Mungkin berada di samping mbak, namun yang aku tahu, dirinyalah yang dimaksud mbak sudah ada di sini.

“Jadi di sini yah…” suaranya yang ramah dan tenang. Terdengar baik dan juga begitu familiar.

“Terima kasih mbak. Nanti saya yang urus sisanya.”

Setelahnya, giliran suara langkah dari si mbak yang lalu terdengar menjauh. Dan suara lainnya yang juga terdengar. Yakni suara kursi yang digeser hingga tepat berada di sampingku.

“Stella…?!” aku memanggilnya denganku yang sedikit takut dan juga tegang.

“Kamu kira siapa Julan…? Bukannya sudah jelas.”

Aku terdiam. Pikiranku yang bingung. Mempertanyakan akan keberadaannya di sini.

“Kenapa dirinya bisa tahu?” “Dari mana dirinya tahu?” “Dan siapa yang memberitahukannya?” “Lalu apakah dirinya sudah tahu akan kebenaran mengenai matanya?”

Dengan pertanyaan-pertanyaan itu berada di pikiranku. Membuatku bingung mesti berkata atau berbuat apa.

“Huhhh~~~…..” Stella dari sampingku terdengar menghela napasnya.

“Padahal kita sudah lama tidak ketemu, tapi kita diam-diam begini Julan. Apa kamu tidak ingin bertanya sesuatu atau bagaimana....?”

“Justru karena sudah lama tidak menemuimu, jadinya aku tidak tahu ingin bertanya apa Stella,” jawabku untuk mencari alasan, dengan wajahku yang mencoba menampakkan kepercayaan.

Lihat selengkapnya