Waktu demi waktu berlalu.
Sekarang ini, keadaan yang ada disekitarku layaknya sebelumnya. Atau bahkan lebih buruk lagi dari dugaanku.
Dengan penampilan kami yang menjadikannya begitu jelas. Bahkan kata kembar untuk mendeskripsikan kami berdua, sudah menjadi hal bias dan yang mengetahui kami kembar pun hanya orang-orang terdekat kami. Bahkan beberapa teman Julian pun tak menyadarinya.
Mulai dari penampilan dirinya yang rapi walau masih tampak keliatan gaul. Keakrabannya dengan berbagai macam orang dan selalu menjadi pusat perhatian. Memiliki banyak teman seperti sebelumnya. Dan prestasi yang didapatnya beberapa kali, yang membuatnya makin dianggap sebagai anak yang brilian.
Sedangkan di sisi lain…
Penampilanku yang agak lusuh, terlihat tertutup, yang penampilanku ini layaknya seorang anak emo. Yang meski akunya menggunakan kacamata kutu buku, namun hal itu kurang lebih menjadi penampilan luarku saja. Tidaklah menggambarkan daripada seharusnya.
Seperti pintar dan sebagainya.
Tidak memiliki teman, menjadi tempat marahan dan teguran guru di kelas atas ketidakmampuanku. Biasa-biasa saja di bidang olahraga, dan hal lainnya yang sebelumnya telah kudapatkan.
Dan tak lupa pula. Ejekan, sindiran, dan kata-kata yang selalu saja dimaksudkan untuk membandingkanku dengan kakakku, dari teman ataupun guru yang mengetahui kekembaran kami. Yang bahkan sampai sekarang masih ada dan mungkin lebih parah.
sikap kakakku yang sehari-harinya makin tidak peduli padaku. Membuatku pada akhirnya menjadi tidak peduli ke dirinya. Hal sama yang dirinya lakukan ke aku, dan membuatku sempat berpikir kalau hal yang sama inilah, yang ayah dan ibuku maksud.
Namun, menyisih hal itu. Dengan berbagai kegelapan, hal suram ini. Entah bagaimana, aku mampu melewati semuanya. Mengabaikannya, tidak terlalu memusingkannya, dan merasa masa bodoh dengan itu semua.
Layaknya sebuah imun, kala menemui virus atau vaksin. Diriku yang mendengar dan menerima itu semua, menjadi makin bisa menahan hal itu semua.
Yang hal itu semua, berhasil kuhadapi dan kulakukan, mungkin alasan utamanya karena orang-orang baik yang ada di sekitarku.
Tepatnya, ayah dan ibu. Dan mungkin juga Stella.
Selama ada mereka. Selama mereka terus ada, menemaniku, bersamaku, dan peduli padaku. Bahkan hal-hal buruk itu semua, di mataku hanyalah layaknya sebuah kerikil yang tidaklah terlalu menggangguku.
Mengenai orangtuaku, mereka bisa aku anggap sebagai temanku dan tempatku untuk menyampaikan perasaanku. Dapat menjadi tempatku untuk menuangkan kekesalanku dan unek-unek dalam pikiranku. Menjadi tempat untukku menjalin rasa kasih sayang dan kepedulianku. Dan juga, menjadi pusat sosialisasiku selama ini, dikala semua orang mengagungkan dan menghebatkan kakakku.
Rasa kasih sayang dan kepedulianku yang makin besar ke mereka. Walau kadang kala, sering kali tidak mendapatkan kasih sayang mereka berdua secara langsung. Baik itu hanya ayah saja yang ada, ataupun ibu.
Namun, entah hal itu terjadi karena urusan mereka yang berselingan ataupun hal lainnya. Yang meski begitupun, yang terpenting mereka masih menjadi cahaya dan orang yang kusayangi.
Orangtuaku adalah segalanya bagiku. Tidak ada yang akan menggantikan mereka. Selalu dan lebih menyayangiku ketimbang kakakku.
Lalu cahayaku yang lainnya, yakni Stella. Walau sosoknya tak lebih baik dibandingkan dengan orangtuaku. Namun, keakraban yang dilakukan, rasa ingin bertemannya, sikapnya padaku yang tidak peduli dengan kekuranganku, bahkan sampai saat ini.
Adalah hal yang cukup bagiku untuk menganggapnya sebagai orang penting dalam hidupku, bahkan sampai saat ini.
Meskipun pula, rasa keakrabannya dan sikap pertemannya juga ia lakukan kepada kakakku Julian.
Dan karenanya, sering kali dirinya berusaha untuk membuat hubungan kami antar saudara menjadi baik. Menyuruh kami berbagi satu sama lain, membuat kami berbincang satu sama lain, mencoba kami berbaikan dan berbagai upaya lainnya. Demi kami bisa memiliki hubungan saudara yang baik.
Membuatku menduga akan alasan Stella melakukan ha-hal ini, mengingat dirinya yang sebagai anak tunggal. Mungkin saja karena iri, melihatku dan juga Julian yang bersaudara, terlebih lagi kembar. Namunnya tidak suka satu sama lain. Yang baginya sebagai sepasang saudara mestinya kami berdua rukun.
Pada awalnya kami tidak terlalu peduli dengan upaya yang dilakukan Stella ini. Tiap kali dirinya melakukan usahanya untuk membuat hubungan saudara kami membaik. Baik aku maupun Julian langsungh mengabaikannya ataupun bahkan tidak melakukannya.
Namun waktu demi waktu berlalu, dimana upaya demi upaya dari Stella lakukan. Dari awalnya kami benar-benar mengabaiknnya, namun karena risih akan usaha Stella ini. Akhirnya aku dan Julian membuat kesepakatan.
Dimana kami akan terlihat akrab satu sama lain tetapi hanya saat Stella ada di depan atau bersama kami. Dan kesepakatan selanjutnya, adalah kala Stella mempertanyakan akan hubungan persaudaraan kami.
Maka baik aku ataupun Julan mesti berbohong kalau hubungan kami baik-baik saja dan sebisanya sesuai dengan harapan Stella.
Walaupun pada kenyataannya layaknya hitam dan putih. Realitanya tentunya begitu terbalik.
Stella yang melihat keakraban kami yang palsu ini, dirinya menanggapinya dengan tersenyum senang. Tersenyum selebar mungkin, lalu dengan wajah dan ekspresinya sesenang mungkin kala melihat aku dan Julian, berbincang, akrab, peduli dan hal lainnya layaknya sepasang saudara.