Ian's Stories: My True Happines

Muh Fajrin
Chapter #4

KEPERGIAN YANG PERTAMA, MENGAWALI YANG BARU

Aku lalu ke kamarku. Melakukan kegiatanku seperti membaca buku tentang menjadi sukses, mendengarkan motivasi-motivasi di televisi sambil pula dengam memakan beberapa cemilan di kamarku.

 “Tok…Tok… Tok...”

sebuah suara ketokan terdengar di pintu kamarku, yang agak menganggu aktivitasku tersebut.

 “Julan. Aku ingin pergi keluar dengan teman-temanku. Kunci pintu rumah kalau aku sudah keluar.” Suara dari kakakku yang terdengar jutek.

“Iya nanti kukunci.” Balasku acuh yang aku berusaha fokus akan aktivitasku.

“Dan juga, berhentilah mendengarkan motivasi-motivasi begituan! Itu tidak mengubah keadaanmu menjadi lebih baik!” ujarnya yang terdengar mengejekku.

“Bukan urusanmu. Lagipun kau ada urusanmu sendiri untuk pergikan?! Lebih baik lakukan dengan cepat daripada menguru urusanku.”

Tak ada komentar balik yang kudengar dari Ian setelahnya selain suara pintu rumahku yang tertutup. Aku menghela napas panjang, yang kemudian aku beranjak dari tempat duduk. Meninggalkan aktivitasku lalu mengunci pintu rumahku.

 Kembali ke kamarku setelah melakukannya, kemudian kulanjutkan kembali aktivitasku sebelumnya.

 Melakukan aktivitasku selama berjam-jam. Dengan aktivitasku lainnya, seperti bermain video games, ataupun menonton televisi. Dan kadang kala pula, aku mengambil makanan di dapur, lalu memakannya di dalam kamarku.

 Hingga ketika aku sedang menonton, suara ketukan pintu rumahku terdengar dari luar.

Tok…Tok…Tok...

 “Julan, ini aku. Buka pintunya.” Suaranya yang terdengar samar, namun dari suara itu aku tahu adalah dia Ian.

Aku lalu berbalik ke arah pintu kamarku. Beranjak dari tempatku duduk dan kamarku. Menuju ke pintu rumah, dan membuka pintu rumahku. Dan tanpa adanya berniat menutup kembali setelah membuka, aku kemudian kembali ke kamarku tanpa menatap ke arah kakakku, yang sepertinya tengah menutup dan mengunci pintu rumah.

Dan kemudian, aku yang melanjutkan aktivitasku kembali, dan Ian yang sudah tidak terlalu kupedulikan lagi tentang aktivitas yang dia lakukan.

Melakukan aktivitasku yang lainnya seperti membaca, makan, dan berbagai kegiatan lainnya. Hingga malam tiba, aku lalu tertidur dengan lelap.

Kemudian, pada pukul 08.30. Suara ketukan sekali lagi terdengar di telingaku. Tak sedekat layaknya pintu ruanganku. Malahan jauh, yang berarti berasal dari pintu depan rumahku.

“Tok…Tok…Tok…”

Ketukan ketiga kudengar, membuatku mulai berniat membuka pintu depan. Namun, belum mulai melangkah 3 kali, suara yang terdengar seperti pintu terbuka.

“Julian sudah buka yah… Balik tidurlah kalau gitu.” Gumamku yang lalu balik lagi menuju ke tempat tidurku.

Berbaring ke tempat tidurku kembali, dengan kenyamanan yang kembali kurasa setelah sebelumnya tertunda. Aku yang mencoba tidur selama beberapa saat. Yang tetapi, kala keadaanku sudah setengah terlalu. Kemudian…

“Tok!Tok!Tok!”

Suara ketukan sekali lagi terdengar di telingaku. Terdengar keras, dan kali ini suaranya berasal dari pintu kamarku.

“Julan! Buka pintunya Julan!”

Ditambah dengan panggilan dari Ian, yang seketika membuatku seketika tersadar. Sedikit kesal dengan tingkah Ian, mengingat rasa kantuk yang masih kurasa. Namun tidak kukeluarkan dan tetap terbangun dari tidurku dan mulai membuka pintu kamarku.

“Ada apa Ian?”

 Ekspresinya yang diperlihatkannya dan tatapannya. Adalah sebuah kesedihan yang begitu mendalam.

Saat melihat ekspresi sedih Ian kala tersebut adalah kesedihan dirinya yang terhebat dan pertama kalinya kulihat seumur hidupku.

Aku pun lalu bingung. Tidak tahu ingin bersikap ataupun mengatakan apa ketika kulihat ekspresi dan sikapnya tersebut.

“Ke-Kenapa Ian? A-apa terjadi sesuatu?”

“Julan! Ayah dan Ibu…!!!”

 Pikiranku seketika memproses pernyataan singkat dan kesedihan dari Ian. Mencaritahu, mempertanyakan akan sikap dari Ian ini. Dan pikiranku mulai dipenuhi dengan hal-hal buruk mengenai keadaan ayah dan ibu. Bahkan sampai hal yang terburuk.

“A-Ada apa dengan ayah dan Ibu…? Ian!?”

 Aku yang mulai mendengarkan penjelasan dari Ian. Yang meski dirinya terisak-isak. Namun aku sangat memahami penjelasannya. Yang sampai pada penjelasan akhirnya…

 “Ayah dan Ibu…” mulutku tergetar, tak bisa berkata-kata terhadap apa yang kudengar. Dugaanku yang sebelumnya akan alasan kesedihan Ian, ternyata benar adanya.

 Yang padahal, aku mencoba untuk tidak memercayainya meski setelah mendengarnya. Mimpi buruk yang kusangka tak akan pernah terjadi, pada akhirnya terjadi. Malahan terlalu cepat dari dugaanku. Air mata mulai keluar dari mataku, dan mengalir melewati pipiku.

 Yang bahkan dalam situasi ini, pikiranku terus meyakinkan diriku bahwa apa yang kualami ini adalah mimpi buruk dari tidur yang kulakukan sebelumnya. Namun aku yang melihat dan merasakan situasi ini tahu. Bahwa keadaan dan apa yang kudengar dari Ian, adalah benar-benaar kenyataan dan bukan dari mimpiku.

 Aku hanya bisa tersungkur karenanya dan menangis begitu keras. Tanpa adanya menahan rasa sedihku ini ataupun berusaha untuk menyembunyikannya. Hanya terus menangisi atas hal ini untuk mengeluarkan semua emosi kesedihan yang kurasakan dalam diriku ini.

 Yang saat itu pula, sebuah berita terangkat di media.

 “Sebuah kecelakaan mobil terjadi di daerah dataran tinggi, sekitar 100 km dari kota Sipiktar. Kecelakaan terjadi sekitar 22.30. Diduga kecelakaan terjadi karena si pengendara mengantuk ketika sedang mengendarai.

Yang paginya polisi berhasil mengetahui rumah dari orangtuaku dan mendatangi kami untuk menyampaikan kabar ini.

Lalu beberapa hari kemudian. Setelah beberapa proses dan pemastian untuk penyebab kematian.

Kemudian, aku beserta Ian mendatangi rumah sakit yang membawa ibu dan ayahku. Baik aku maupun Ian, sekali lagi menangisi akan hal ini. Rasa sedih yang sebelumnya aku kira telah keluar semua setelah mengetahui akan tragedi orangtuaku. Kini kembali lagi dan kurasa lebih hebat dari sebelumnya.

Kami berdua lalu memegang tangan orangtua kami. Mengelus tangan mereka yang tak bergerak dan terasa dingin. Dan baik aku maupun Ian, seolah kata-kata atau apa yang kami pendam mengenai orangtua kami dikeluarkan semua pada saat itu.

Akupun tidak terlalu mendengar mengenai apa yang dikatakan Ian. Namun untuk aku, hal yang aku katakan atau sampaikan kepada orangtuaku yang terbaring kaku adalah perasaan kehilangan mereka berdua. Yang selain kuanggap sebagai figur orangtua. Juga sebagai titik cahayaku.

Ayah… Ibu… Kenapa kalian meninggalkanku begitu cepat. Padahal aku masih belum bisa sendirian tanpa kalian. Nantinya apabila tanpa kalian, kepada siapa lagi aku bisa berlindung dan membuatku bertahan.”

 Melanjutkan gumaman dan unek-unekku kepada apa yang terjadi ini, yang bahkan rasa bersalah entah mengapa mulai menyelimuti diriku atas apa yang terjadi ini.

 “Andaikan aku mencegah Ayah dan Ibu?”, “Andaikan aku memaksakan diri untuk ikut?”, dan berbagai andaian yang memenuhi pikiranku, yang membuat rasa bersalah makin tumbuh dalam pikiranku. Yang bahkan, dalam pikiranku yang dipenuhi andaian dan rasa bersalah, sebuah konklusi akhirnya terpikirkan oleh pikiranku yang intinya.

“Untuk seseorang ingin melindungiku. Mestinya aku juga melindungi mereka dari bahaya dan lainnya.”

Sebuah konklusi— kesimpulan yang seketika aku mengatakannya kepada dan untuk diriku. Hal ini kemudian tertanam begitu baik di dalam hati dan pikiranku.

Dan esoknya, mayat orangtuaku akhirnya dibawah pulang di rumah. Dan pada hari itu pula, pemakaman orangtuaku dilakukan.

Pakaian hitam, dan rasa sedih yang terlihat oleh setiap orang disana. Menyayangkan akan apa yang aku dan Ian alami ini.

Lihat selengkapnya