Ian's Stories: My True Happines

Muh Fajrin
Chapter #7

AKHIR YANG MEMBUATKU SADAR

 Dan akhirnya…

Seperti yang Ian katakan dan aku duga.

 Dengan suara yang memilihku sekitar 46%, diriku terpilih menjadi ketua OSIS.

Yang asal dari jumlah suara yang banyak itu, bukanlah benar-benar— atau malahan bukanlah karena diriku atau visi dan misi yang kusampaikan. Melainkan karena diriku yang merupakan kembaran dari sosok populer di sekolah yang tidak lain adalah Ian.

Terdengar menyakitkan dan menyebalkan, mengingat kemenangan yang kurasakan ini adalah hanya karena kembar dengan orang yang sesungguhnya tidak terlalu peduli padaku. Dan ditambah dengan perbincanganku dan Ian sebelumnya, kemenangan ini entah mengapa makin membuatku kesal pada dirinya.

Namun menepis itu semua. Rasa kesal dan sakit hati yang kurasakan saat ini, demi melakukan apa yang seharusnya telah kulakukan sebelumnya ketika aku telah lulus sebagai anggota OSIS. Yakni mengungkapkan perasaanku kepada Stella.

Lebih tepatnya, setelah pengumuman mengenai yang terpilih menjadi ketua selesai yang dilakukan di ruang OSIS. Aku kemudian bergegas keluar dari sana. Mengambil handphone yang berada di saku ku, lalu menelpon Stella.

Menunggu beberapa saat, seiring beberapa orang juga mulai keluar dari ruangan OSIS. Mengabaikan diriku yang terlihat bagi mereka sedang menelpon. Hingga ketika terdengar seperti mengangkat Handphone, aku kemudian menyapa dirinya.

“Ha-Halo Stella.”

“Um Hai Julan, ada apa? Oh iya, bagaimana dengan pemilihannya? Apa kamu yang jadi ketua?”

 “I-iya Stella, aku yang menjadi Ketua OSIS,” jawabku dengan bangga.

 “Benarkah! Syukurlah kalau begitu Julan. Selamat kamu menjadi ketua OSIS,”  sorak Stella yang juga begitu senang atas diriku yang terpilih.

Aku lalu tersenyum lega atas sorakan Stella padaku, sambil membalasnya.

 “Terima kasih Stella.”

“Jadi Julan, kenapa kamu menelponku? Selain… karena kabar gembira kamu menjadi ketua?”

 Aku seketika terdiam. Seolah, rasa gugup yang sebelumnya kurasa ketika hendak membaca visi dan misiku kembali lagi. Padahal hal ini telah kurencanakan jauh-jauh hari, malahan lebih dibandingkan persiapanku untuk berpidato visi dan misi.

Membuatku sedikit berpikir, kalau inilah yang kudengar dari beberapa orang mengenai seseorang sebelum menembak orang yang disukainya.

 Padahal aku hanya masih meminta Stella untuk menuju ke tempat yang kurencanakan, namun perasaannya sudah seperti ini. Terasa begitu gugup, dan bikin gemetaran. Namun juga begitu mendebarkan, mengingat apa saja yang terjadi ke depannya setelah perasaan ini kuungkapkan ke Stella. 

aku kemudian berdehum singkat, sambil melanjutkan.

“Be-Begini Stella, aku sebenarnya ingin membicarakan sesuatu denganmu. Tapi bukan dengan menelpon begini. Mungkin baiknya kita bicara secara langsung begitu, bagaimana?”

“Bisa saja sih Julan. Tapi kalau kamu ingin menemuiku sekarang, sepertinya tidak bisa. Karena aku ada rencana sebelumnya. Mungkin sesudah urusanku selesai, mungkin aku bisa menelponmu. Tidak apa-apakan Julan?”

Aku merasa lega dan senang mendengar jawaban dari Stella. Seolah rencanaku pada hari ini berjalan dengan sangat lancar. Walau sedikit tertunda, namun bagiku hal itu sudah baik bagiku dibanding dengan jawaban “tidak” dari Stella.

“Tidak apa-apa Stella. Oh…dan untuk tempat ketemunya di taman sekolah yah,” ujarku senang.

 “Taman sekolah kan Julan…? Aku nantinya akan ke sana. Sampai ketemu disana Julan.”

“Hmm iya Stella. Sampai ketemu.”

Stella yang menutup telponku duluan yang kemudian aku selanjutnya.

Merasakan perasaan lega dan sedikit tenang, namun deg-degan dan gugup tidaklah menghilang dari diriku. Hingga aku mencoba bersikap optimis, berjalan dengan semangat, meninggalkan lebih jauh lagi ruangan OSIS dan mencari waktu untuk menunggu Stella menelponku kembali, setelah urusan darinya selesai.

***

“Dimana yah?”

Aku kemudian berusaha mencari tempat yang kujadikan sebagai tempatku menunggu. Hingga secara tidak sengaja aku melihat Stella. Berjalan ke suatu tempat yang arahnya ke taman sekolah. Tempat dimana aku dan dirinya janjinya ketemu disana.

 Aku terdiam sejenak, sambil mempertanyakan alasan Stella menuju ke taman sekolah saat ini.

“Apa urusan Stella sudah selesai, jadinya dia langsung ke taman sekolah?!” pikirku yang kuanggap cukup menjawab alasan perginya Stella.

 Mengikuti apa yang kupikirkan, aku lalu berjalan, bergegas menuju ke taman sekolah sembari mengikuti Stella dari belakang. Menjadikanku sebagai kejutan karena telah datang bahkan sebelum dirinya berusaha menelponku.

Lalu di taman sekolah. Saat dimana tidak banyak orang disana.

Stella dan juga aku yang mengikutinya dari belakang berada disana. Dengan niatku untuk mengejutkan akan kedatanganku, kemudian berjalan pelan mendekatinya.

 Namun, bahkan belum aku mulai melangkah, tiba-tiba suara panggilan terdengar olehku maupun Stella.

“Stella!”

 Suaranya yang sama persis dengan suaraku, yang sepersekian detik setelah suara itu kudengar, pikirku bahwa secara tidak sengaja ataupun sadar, aku memanggil Stella.

Namun setelah itu, realitas seolah menyadarkanku. Pikiranku seketika mengetahui asal atau pemilik dari suara yang memanggil tersebut. Rapi dan hebat, terlihat tampan maupun stylish karena diaturnya yang begitu baik. Akupun sebenarnya bisa sepertinya apabila aku mengikuti gayanya, mengingat dirinya adalah saudara kembaranku.

 Dan lagi, akupun telah menemui orang itu sebelumnya. Yang tentunya, sangatlah tahu akan orang itu.

Yang tidak lain dia adalah…

“Ian!” balas Stella yang setelah berbalik dan melihat Ian datang.

Melihat sapaan yang dilakukan antara mereka berdua, aku seketika mengurung niatku. Mundur dari sana, bersembunyi dan menguping pembicaraan mereka berdua sembari mempertanyakan alasan mereka berdua bertemu di taman sekolah saat ini.

Lihat selengkapnya