Dan kemudian...
Dokter yang merawat Stella kemudian keluar dari kamar Stella. Dengan refleks kami berdua menghampiri si dokter. Mempertanyakan keadaan Stella.
“Jadi dokter, bagaimana keadaan Stella?”
Wajah si dokter yang lemas seolah telah mendapatkan kabar malang. Mulai menjawab pertanyaan Ian dengan nada suaranya yang kurang lebih sama dengan ekspresi yang ditampakkannya.
“Bisa dikatakan, selain dari gegar otak yang dialaminya saat ini. Akibat dari benturan otak di kepalanya saat kecelakaan yang terjadi. Bu Stella mengalami efek kebutaan karenanya.”
Diriku sedikit terdiam mendengarnya.
Dengan dugaanku yang menjadi kenyataan, setelahku mengetahui dan melihatnya. Membuat perasaanku sesaat begitu sakit dan benar-benar tak bisa berkata apa-apa akan hal ini.
“Tapi kabar baiknya adalah efek kebutaan yang diterima Bu Stella bisa ditangani dengan pengoprasian bola untuk Ibu Stella nantinya. Jadinya kami dari rumah sakit akan berusaha melakukan operasi kepada Ibu Stella, sehingga Ibu Stella bisa melihat lagi.”
Dan saat mendengarnya, sekejap perasaanku mulai merasa lega kembali. Yang namun melihat wajah dari si dokter yang masih sama seperti sebelumnya, membuatku tidaklah benar-benar merasakannya. Dengan lanjutnya si dokter yang benar-benar mengkonfirmasi ekspresinya.
“Meskipun ada kabar buruk lainnya. Di rumah sakit ini, sudah tidak memiliki lagi mata yang bisa di donorkan. Sehingga mungkin operasi mata untuk Ibu Stella bisa lebih lama daripada yang diduga. Namun kami tetap usahakan untuk mencari donor mata di rumah sakit lain di kota Sipiktar. Jadi, mohon bersabar.”
“Be-Begitu yah…” balasku dengan lesuh yang mendapat alasan wajah si dokter yang lemas tersebut.
“Dan untuk sekarang. Mungkin sebaiknya, saudara-saudara pulang untuk membiarkan Ibu Stella dapat beristirahat dengan tenang. Dan untuk besok, saya harap saudara bisa memberi penjelasan ke Ibu Stella akan hal ini, sebaik mungkin. Supaya Ibu Stella tidak mengalami stress, sehingga penyembuhan beliau jadi lebih cepat juga,” ungkap si dokter yang mengakhiri penjelasannya.
“Kalau begitu, saya permisi.”
Perginya dokter beserta pemberitahuan terakhirnya kepada diriku dan Ian. Yang membuat, baik aku maupun Ian mengikuti permintaan dari si dokter. Untuk meninggalkan Stella dan rumah sakit ini. Dan untuk diriku, beranjak pulang ke apartemenku.
Menaiki taksi untuk pulang, dan saat pulang hanya memikirkan keadaan Stella kedepannya. Yang meski, hubunganku dengannya hanyalah tinggal teman dekat saja. Namun perasaanku padanya masihlah tidak berubah.
Bagaimana dirinya menyikapi akan kabar yang akan di dengar nantinya? Apakah dirinya bisa menerimanya dengan lapang dada atau sebaliknya? Bagaimana dirinya akan menghadapi hari-harinya selama menunggu kabar akan mata untuknya? Dan kekhawatiran lainku kepada Stella. Yang semakin diriku memikirkannya, membuatku makin resah, takut, khawatir dan cemas ke dirinya.
Bahkan saat sampai di apartemenku. Diriku yang telah terlentang di atas kasur, tanpa berusaha untuk makan ataupun mengganti pakaianku, masih saja memikirkan akan hal ini.
Tidak bisa tertidur, dan terus memikirkan hal ini. Walaupun diriku sadar, kalau pikiranku yang seperti ini, seolah aku terlalu meremehkan Stella. Memandang dirinya nantinya akan tertekan dan sebagainya saat mengetahui kabarnya tentang ini. Padahal diriku merupakan salah seorang yang cukup lama dan mengenalnya begitu baik. Namun dengan sikapku yang seperti itu, seolah aku tidak terlalu mengenal akan sosok Stella.
Walaupun sekali lagi….
Meskipun begitu…
Perasaan khawatir dan resahku tetaplah kuat di dalam hatiku. Yang perasaan ini, membuatku tidak bisa istirahat ataupun tenang.
Dan keesokannya.
“Terima kasih pak. Dan sekali lagi, maafkan saya pak, karena tidak bisa masuk hari ini.”
Menutup telponku ke atasanku. Memberitahukan ke dirinya kalau diriku tidak bisa masuk kerja pada hari ini, dengan alasanku yakni kelelahan karena beberapa kerjaan. Dimana saat memberitahukan hal itu, atasanku mempercayai alasanku tersebut. Yang setelahnya...
“Baiklah, selanjutnya tinggal menuju kesana.”
Bergumam untuk diriku, yang saat ini tengah bersiap kembali menuju ke rumah sakit untuk menemui Stella. Tanpa berusaha untuk sarapan, ataupun untuk tertidur sebentar mengingat diriku yang kurang tidur.
Waktu pergiku ke rumah sakit, sekitar jam Sembilan. Dan saat tiba, waktu sudah menunjukkan setengah sepuluh.
Yang seketika saat berada disana, diriku kemudian berjalan secepat mungkin menuju ke ruangan dimana Stella di rawat.
Berada di depan pintu kamarnya.
Perasaanku yang sebelumnya ada kemudian kembali dan malahan tambah besar dibandingkan sebelumnya. Namun, demi menjawab perasaanku tersebut, diriku akhirnya kemudian membuka pintu ruangan Stella, dan melihat situasi yang ada di dalamnya.
Kemudian dalam pandanganku di dalam kamar Stella.
Dirinya yang berbalik, ketika mendengar suara pintu terbuka. Wajahnya yang menampakkan ekspresi yang biasa ia lakukan. Seolah beban yang dihadapinya tidak pernah diangkat atau terjadi pada dirinya. Namun dari pandangannya, diriku tahu kalau dirinya tidak bisa melihat apa-apa ataupun mengetahui sosok yang membuka pintu ruangannya.
“Si-Siapa disana…?” tanyanya dengan kepolosan, mempertanyakan akan siapa yang membuka pintu ruangannya.
Dengan rasa lega yang sedikit kurasa setelah mendengar pertanyaan Stella , Aku lalu menjawab.
“Ini aku Stella, Julan.”
“Ah... Julan!” balas Stella dengan keterkejutan dan rasa senang di wajahnya.
Aku lalu berjalan menuju ke arah Stella. Dan ketika makin mendekat, meski aku tahu dari pandangannya dirinya tidak bisa melihat apa-apa, dirinya masih memperlihatkan sebuah senyuman, yang biasa ia lakukan ketika tiap kali kami bertemu satu sama lain.
Juga sepertinya ditambah juga dengan kedatanganku, sehingga rasa senang dibalik senyumannya pun juga terlihat.
“Sepertinya kamu keliatan baik seperti biasanya Stella.”
“Tentu saja kan Julan,” jawab Stella dengan seolah tak ada sekalipun risau diwajahnya.
“Mengetahui kamu sekarang ini menemuiku, pastinya aku akan senang.”
Aku yang mendengarnya lalu tertawa kecil yang juga kubalas.
“Kau terlalu berlebihan Stella.”
“Tentunya tidak berlebihan Julan,” ujar Stella ynag terlihat sedikit saat mengatakannya.
Yang ketika melihatnya, aku lalu tersenyum lega karenanya.
Dan dengan suasana yang ada diantara kami berdua terasa rileks. Membuatku tidak lagi merasa khawatir ataupun cemas akan keadaan Stella sekarang ini. Membuatku lupa, kalau Stella sekarang ini, sebenarnya tidak bisa melihatku dengan baik.
Yang meski begitu…
“Kalau kamu ada disini Julan, berarti kamu kurang lebih tahukan keadaanku?” tanya Stella dengan wajahnya yang kemudian seketika menjadi terlihat sedikit sedih menunduk dengan senyum di wajahnya seolah sebuah penguat untuk dirinya. Yang lalu mengheningkan suasana diantara kami.