Ian's Stories: My True Happines

Muh Fajrin
Chapter #12

SAAT JANJI DIRINYA KUTUNGGU

Aku kemudian masuk ke dalam ruangan Stella.

Berada di dalam ruangan, seperti biasanya aku memanggilnya, sebagai bentuk sapaanku saat masuk ke ruangannya.

“Stella.”

“Ian?!” suara yang begitu besar, yang jujur saja mengejutkanku. Dan ketika tersadar, seperti biasanya akupun membalas.

 “Bukan Stella... ini aku. Julan.”

 “Ohh… Julan yah…,” balas Stella dengan nada suaranya yang terdengar turun dan datar.

Setelah membalasnya, dengan wajahnya yang lalu tersenyum seperti yang sekarang ini kulihat. Menampakkan ketenangan, keramahan, dan kebaik hatian dari Stella yang seperti biasanya aku tahu.

 Padahal kebenarannya sendiri, senyum dan juga wajah bahagia tersebut tidak lain hanyalah sebuah topeng Stella yang diperlihatkannya padaku sekarang ini. Untuk menyembunyikan perasaan Stella yang aku lihat sebelumnya.

Yang sebelumnya…

 Dan meski terlihat sebentar, bahkan hanya beberapa detik. Dimana dibalik ekspresi ramah dan senyum yang sekarang ini ia lakukan kepadaku. Sebuah ekspresi dari Stella yang terlihat pada pandanganku. Rasa kesedihan yang sepertinya sudah makin tidak bisa dirinya tahan.

Kesedihan yang dirasakannya kemungkinan besar selain karena kesepian.

Melihat itu, membuatku makin khawatir untuk menyampaikannya. Khawatir akan perasaan Stella saat mendengarnya. Khawatir akan tindakan dirinya ke depannya. Dan khawatir akan apa yang kusampaikan ini, akan benar-benar membuat Stella berpikiran tidak-tidak akan dirinya.

Yang kuyakin, Stella pun sebenarnya masih merasa sulit menerima hal-hal yang telah dihadapi dan dialaminya saat ini.

“Oh iya. Julan…” Stella lalu menyahut, membuyarkanku dari pikiranku sebelumnya.

 “Bukannya jam begini kamu harusnya bekerja? Kenapa kamu sudah ada disini? Kantormu libur?”

 Aku beberapa saat terdiam. Mendengar pertanyaan Stella, seolah perasaan khawatirku yang sebelumnya kurasakan beberapa saat menghilang. Dan dengan refleks, aku lalu menjawabnya dengan sikap setenang mungkin.

 “Ah, tidak Stella. Aku minta cuti lagi ke kantorku hari ini. Karena pagi tadi, aku lagi tidak enak badan. Baru, setelah istirahat lagi, perasaanku jadi lebih baik lagi. Dan karena tidak ada kerjaan yah sebaiknya akupun mengunjungimu.”

 “Begitu yah,” balasnya dengan senyum ramah. Yang ketika melihatnya, membuat perasaanku menjadi lebih baik.

“Tapi Julan…” Stella dengan nada suaranya seketika agak menaik. Dengan lanjutnya.

“Kamu kan sudah sering-sering cuti, bukannya tidak bagus untuk pekerjaanmu!? Seharusnya kamu, kalau tidak enak badan sedikit, mendingan pergi kerja. Daripada cuti kamu makin banyak, dan bisa-bisa gajimu potong!” Stella yang lalu menegurku. Dengan nada yang cukup marah akan tindakan yang kulakukan.

“Ma-Maaf kalau begitu.”

Dengan nadaku yang menyesal dan wajahku yang kuperlihatkan begitu menyesal, yang meski Stella sendiri tidak dapat melihatnya. Walaupun, dengan teguran yang Stella lalukan padaku, entah mengapa terasa rindu saat mendengarnya.

“Bagus kalau kamu menyesal,” jawabnya dengan begitu bangga.

Sebuah percakapan ringan. Yang setelah kulakukan, perasaanku menjadi lebih baik. Meski perasaan khawatir tadi masihlah tidak hilang di dalam diriku. Namun dibandingkan sebelumnya, diriku saat ini entah mengapa lebih berani untuk menyampaikan akan “alasan Ian”.

“Oh iya, Stella. Sebelum aku kesini, aku pergi ke gedung tempat Ian kerja,” ujarku untuk memulai pembicaraan mengenainya.

“Benarkah?! Apa kamu ketemu Ian disana? Terus, kenapa kamu ke sana?!”

 “Tenang…tenanglah Stella.”

Aku mencoba menenangkan Stella, dengan dirinya yang seketika terlihat begitu semangat saat mengetahui kalau aku pergi ke sana.

Aku yang kemudian berdehum sebelum akunya mulai memberi penjelasan ke Stella, lalu lanjutku.

“Begini Stella... Alasanku pergi ke sana untuk menemui Ian. Lebih tepatnya, membawakan berkasnya yang dirinya ketinggalan di rumahnya pamanku. Dan pamanku, minta tolong ke aku untuk memberikannya ke Ian, karena dirinya sangat sibuk hari ini.”

“Ternyata begitu,” jawabnya yang singkat. Dengan wajahnya yang cukup gundah, dan sedikit kecewa karenanya. Yang tak kumengerti, alasan kekecewaan yang diperlihatkannya ini. Diriku lalu melanjutkan.

“Sebenarnya juga Stella, ketika aku pergi ke sana dan ketemu dengan Ian. Aku juga bertanya ke dirinya, kenapa dianya tidak menjengukmu selama beberapa hari ini. Kenapa dirinya tidak menemui dirimu atau sebagainya.”

“Dan katanya… karena perusahaannya saat ini di pasar lagi berada di posisi bagus-bagusnya. Jadinya, karena dirinya salah satu kepala bagian di perusahaannya, akhirnya pekerjaannya sangat menumpuk.”

“Bahkan kata Ian, dirinya sudah tidak pulang selama beberapa hari ini di kantornya. Lalu dirinya berpesan ke aku, kalau dirinya sudah selesai akan semua kerjaannya, dan nilai saham perusahaannya berhasil bertahan. Nanti dia akan menemuimu Stella. Jadi tunggu saja.”

“Jadi begitu Julan...?!” tanggap Stella dengan begitu semangat. Dan dengan setelahnya diikuti helaan napas lega, Stella lalu menambah.

 “Baguslah kalau begitu...”

Wajahnya yang seketika terlihat senang, bersyukur, dan bahagia. Dan juga ditambah dengan perasaan lega, yang bahkan membuatku hampir lupa akan ekspresi sedih Stella yang diperlihatkannya sebelumnya.

Namun mengesampingkan pikiranku tersebut, melihat senyum Stella yang ada sekarang ini. Bahkan sebuah kebohongan bagiku tidak peduli resiko atau karma buruk apa yang akan kudapatkan karenanya.

Diriku sekali lagi, berbohong kepada Stella.

Mungkin daripada berbohong, lebih tepatnya melebih-lebihkan akan hal yang kukatakan. Melebih-lebihkan apa yang Ian kerjakan, yang pada kebenarannya sendiri, bagiku tidaklah benar-benar ia lakukan.

“Sibuk?! Bahkan dirikupun juga sibuk. Tapi tetap bisa menemani Stella!” pikirku sembari mengingat akan kata “sibuk” yang disampaikan oleh Ian tadi.

Namun, dengan pikiranku sekarang ini yang cukup tenang,

Akupun saat bersamaan mengetahui... Memahami...

Kalau kesibukanku dengan kesibukannya, tentunya berada di level yang berbeda. Dirinya yang bekerja di kantor pusat perusahaannya, dan diriku yang bekerja di kantor cabang dari perusahaanku. Tentunya sebuah perbedaan yang besar. Yang menyadarkanku, kalau betapa bodohnya akan perkataan yang kusampaikan ke Ian sebelumnya.

Lalu melebih-lebihkan yang kulakukan sebelumnya.

Memikirkan kembali diriku yang melebih-lebihkan akan hal yang dilakukan Ian. Membuat beberapa saat muak dan jijik kurasakan pada diriku.

Namun sekali lagi, demi membuat Stella dapat tersenyum dan senang seperti ini. Dirikupun sungguh masa bodoh dengan rasa muak dan mualku ini.

Dan setelah perbincanganku akan “Ian”, yang seperti biasanya kucoba untuk langsung mengalihkan perbincangan kami tentangnya, kemudian membincangkan hal yang lainnya.

Lihat selengkapnya