Pagi hari kemudian.
“Mungkin baiknya aku meminta cuti setelah mengunjungi Stella…”
Menyimpan handphoneku ke kantung celana, yang kemudian aku mulai berangkat menuju rumah sakit.
Menaiki taksi seperti biasanya dengan arah tujuanku yakni rumah sakit tempat Stella di rawat.
Berangkat ke sana dan dengan menjenguk rutin Stella. Sebelumku kali ini benar-benar menemui Ian.
***
Sesampaiku di rumah sakit. Aku mulai berjalan, melewati ruangan demi ruangan. Seperti tempat administrasi, berbagai ruangan, lorong dan sebagainya. Dan ketika akhirnya berada di depan ruangan tempat Stella dirawat. Tiba-tiba dari dalam…
“Stella apa kamu paham?!” suara terdengar dari dalam ruangan. Bukan suara Stella, namun perasaanku mengatakan kalau aku pernah mendengar suara orang ini sebelumnya.
Melihat ke arah dalam melalui kaca pintu. Dan melihat, dua orang di dalam sana selain Stella. Dengan tatapanku ke arah wajah dari dua orang tersebut, ingatanku seketika mengalir di pikiranku. Mengingatkanku tentang identitas dua orang itu, yang tidak lain adalah rekan kerja Ian, yang kulihat pada hari kemarin.
Dan tak hanya itu saja, ketika melihat mereka baik-baik, pikiranku memberikanku ingatan lain mengenai mereka. Situasi yang mendukung ingatanku, yang seketika memberikanku informasi akan mereka. Yang ternyata, kedua rekan Ian tersebut juga termasuk dari beberapa orang yang menunggu keadaan Stella pada hari itu.
Yang setelah mengingat itu semua, pikiranku seolah memberiku jawaban yang lebih baik mengenai ketahuan mereka akan ruangan Stella di rawat.
Kemudian, mengapit itu semua. Mencoba untuk fokus akan hal yang mereka katakan, diriku lalu melihat situasi di dalam.
“Tapi… Tapi apa memang Ian benar-benar melakukannya…?” tanya Stella yang masih agak tidak percaya akan apa yang didengarnya.
Salah seorang rekan kerja lalu menghela napas. Menatap Stella yang tidak bisa dirinya ini, dengan tatapan kesal, sembari memberi jawaban.
“Terserah apa kamu ingin percaya Stella atau tidak. Yang terpenting aku telah beritahukanmu. Kalau berhentilah berharap Ian akan mendatangimu lagi Stella…!”
“Jadinya, meski saudara Ian itu kedepannya akan terus mendatangi Ian... Lalu memarahi dirinya hanya karena Ian tidak mendatangimu… Dan terus dilakukannya. Ian tetap tidak akan mendatangimu Stella…!”
“Dan terlebih untukmu Stella! Mungkin memang si saudara Ian itu yang salah… Tapi, alasan untuk dirinya melakukan itu, sekali lagi karena dirimu Stella.”
“Jujur saja Stella, kamipun sebenarnya tidak mengerti kenapa Ian bisa menyukai dirimu. Untuk keadaanmu yang sudah seperti ini…! Aku malahan pesimis apakah Ian masih menganggapmu sebagai tunangannya atau tidak!”
Terlalu kejam.
Perkataan mereka begitu kejam.
Apakah orang-orang dekat Ian sekejam ini?
Memojokkan dan mengatai Stella seperti ini. Padahal mereka mengenal dan sepertinya cukup dekat dengan Stella. Namun melakukan hal ini, bagiku terlihat tidak masuk akal akan tindakan mereka.
Apakah Ian sehebat itu dimata mereka, sampai mesti merendahkan Stella seperti ini. Apakah segitu rendahkah anggapan mereka mengenai Stella. Sampai-sampai mesti membandingkan keadaan Stella saat ini dengan Ian yang mereka kagumi?
Terlalu aneh. Terlalu bodoh. Dan terlalu miring pikiran orang-orang dekat Ian ini.
Mungkin saja terdengar tak masuk akal, apabila menganggap semua rekan kerja ataupun teman Ian memiliki sikap seperti ini, hanya karena melihat tingkah kedua teman Ian ini.
Namun tetap saja, mengingat mereka juga termasuk beberapa orang yang menjenguk Stella pada hari itu. Dan tindakan orang-orang itu yang kuanggap sebagai “teman Stella”, yang dimana mereka sudah tidak pernah mengunjungi ataupun menjenguk Stella lagi. Bagiku, kalau semua orang pada hari itu, kecuali paman, sebenarnya teman atau orang dekat Ian.
Yang sepertinya alasan keberadaan mereka disana pada hari itu, hanya karena ingin dianggap, dikagumi dan sebagainya oleh Ian.
“Benar-benat tak kumengerti...” diriku yang sambil memandang kejadian di dalam. Mengomentari sikap dan tindakan rekan kerja Ian.
Stella hanya tertunduk kala mendengarnya. Tak berkomentar apapun atau berusaha menanggapi pernyataan kedua rekan kerja Ian. Wajahnya yang tertutup dengan rambut panjang miliknya, yang baik aku maupun kedua rekan kerja Ian tidak bisa melihat ekspresi darinya.
Dan salah seorang mereka lalu memalingkan wajahnya dan memberitahukan.
“Mungkin hanya itu yang ingin kami beritahukan kepadamu Stella. Sampaikan sekali lagi ke saudara Ian itu, kalau berhentilah mendatangi Ian, yang membuat keributan dan akhirnya masalah untuk Ian, hanya demi Ian menjengukmu Stella. Karena seperti yang kukatakan sebelumnya. Kalau Ian sudah benar-benar tidak ingin menemuimu lagi Stella.”
Stella masih terdiam. Tak berkomentar apa-apa lagi, dan membiarkan kedua teman rekan kerja Ian keluar dari sana.
Kepalanya yang masih tertunduk setelahnya. Seperti ingin mengeluarkan kesedihan di matanya yang tak bisa melihat apa-apa, namun tidak dilakukannya. Namun bukan karena dirinya sanggup menahannya. Mungkin lebih tepatnya, karena ketidakinginan dirinya untuk percaya perkataan kedua rekan kerja Ian ini.