Keluar dari ruangannya, dari rumah sakit dan setelah berada di pinggir jalan. Aku hanya terdiam sambil menunduk. Bingung akan hal apa yang bisa kulakukan untuk menghilangkan kesedihan Stella saat ini.
Dan dalam diamku, aku kemudian mengambil handphoneku. Menelpon ke atasanku, dan dengan niatku sebelumnya, aku kemudian meminta cuti kepada atasanku.
Kemudian seperti dugaanku, yakni atasanku yang mempertanyakan akan kecutianku yang ketiga kalinya ini, dan mengancam pemotongan gajiku, yang bisa dikatakan cukup besar. Yang aku lalu menjawab...
“Tidak apa-apa pak. Lagian, daripada saya mengacaukan pekerjaan saya nantinya, karena saya yang tidak enak badan. Mendingan saya tidak bekerja pada hari ini, dan gaji saya dipotong.”
Terdengar begitu luwes dan tanpa beban. Seolah aku sudah tidak benar-benar memikirkan lagi dampak dan akibat atas apa yang kulakukan ini.
“Kalau begitu jawabanmu Julan. Maka untuk bulan ini dan bulan depan, gajimu saya potong 60%. Lain kali jangan lakukan lagi. Kalaupun kamu melakukannya, maka saya tidak segan-segan memecatmu Julan. Apa kamu paham…?”
“Saya paham pak. Sekali lagi, terima kasih yah pak.”
Menutup telponku ke atasanku. Aku kemudian memanggil taksi yang lewat. Masuk di dalam taksi, duduk disana, dan memberitahukan akan tujuanku ke supirnya. Yang tujuanku kali ini hanyalah ke apartemenku saja.
Berada di dalam taksi. Aku benar-benar terdiam di dalamnya. Tak ada gumaman yang kulakukan, tidak ada hal yang kupikirkan, bahkan lagu yang terputar di dalam taksi, seolah tak terdengar olehku sama sekali.
Benar-benar tenang, diam dan juga sangat kosong. Termasuk juga niatku untuk memarahi Ian,seolah hilang dan seolah tidak pernah ada dalam pikiranku sebelumnya.
Kemudian, turun dari taksi dan berjalan menuju ke apartemenku. Dan saat berada dalam ruanganku, aku hanya langsung berbaring di kasurku. Sambil menatap ke langit-langit bengong terus menerus, yang tanpa sadar setelahnya aku tertidur.
Dan saat terbangun setelahnya. Pandanganku yang langsung mengarah ke jendela, memperlihatkan lampu-lampu kota yang sudah menyala, mengindikasikan waktu yang sudah malam.
Beranjak dari kasur tempatku berbaring. Aku lalu menuju ke kamar mandi, mencuci mukaku untuk menyegarkanku dari rasa kantuk yang kurasakan.
Basuhan demi basuhan kulakukan. Yang setelahnya aku mengambil handuk dekat wastafel, untuk mengeringkan wajahku. Dan tersingkap di handuk yang kugunakan, aku lalu bergumam.
"Andaikan saja... Aku yang menjadi orang disukai oleh Stella.... Menjadi orang yang dicintai Stella... Menjadi pacarnya Stella... Pastinya diri Stella tidak akan bersedih, khawatir dan sebagainya seperti ini...."
Selesai mengeringkan wajahku, menyimpan handuk yang kugunakan ke tempat sebelumnya. Aku lalu menatap ke cermin wastafel. Menatap diriku, seolah menatap orang bodoh dan gagal karena tidak bisa menghadapi situasi yang ada dihadapannya.
Benar-benar menyedihkan. Kurang lebih adalah apa yang kutatap pada wajahku di pantulan cermin wastafel apartemenku.
"Padahal wajahku… suaraku…tubuhku… semuanya sama dengannya. Tapi tetap saja… Kenapa kamu lebih mencintai Ian, Stella…?”
Menatap dan meraba wajahku yang penuh kesamaan dengan Ian.
Mata kami, hidung, mulut, dan sebagainya. Semuanya begitu persis.
Namun tetap saja, Stella lebih mencintai dirinya daripada diriku.
“Aaahh…” sambil diriku mengetes suaraku. Yang mendengarnya saja, seolah akupun mendengar suara Ian juga.
“Bahkan suara kami pun sam—”
Pikiranku lalu terhentak. Oleh sebuah pikiran, yang rasanya begitu refleks terpikirkan olehku.
Terdengar sederhana, akan apa yang kupikirkan ini. Namun memikirkan dampaknya, terlebih untuk Stella. Bisa kukatakan, apa yang kupikirkan saat ini adalah cara-cara satunya yang ada.