Setelahnya keadaan tenang lalu terjadi di antara kami berdua. Dengan tangan kami yang masih berpegangan satu sama lain, sambil menikmati kembali kesejukan dan suasana dari taman.
Suara pohon yang tertiup angin, sinar matahari yang melewati dahan pohon tempat kami duduk. Dan rumput yang menjadi tempat kami duduk, begitu nyaman. Seolah benar-benar mendukung suasana yang diantara kami.
Dan di tengah keadaan yang tenang ini, Stella lalu meggoyangkan tangannya, yang membuatku sedikit bertanya akan tindakannya.
“Ada apa Stella…?”
Sebuah senyum lalu terlihat di mulutnya. Dengan wajah Stella yang terlihat begitu senang, yang nampak seolah dirinya telah mendapat sebuah petunjuk yang datang ke pikirannya.
“Aku kepikiran sesuatu Ian…,” jawab Stella di dalam senyumnya.
“Bisa tidak Ian menambah fotomu sekali lagi…? Namun kali ini, aku inginnya aku dan kau Ian yang berada di dalamnya, bagaimana?”
Aku lalu terdiam sebentar. Yang seketika aku diliputi dua perasaan yang bercampur aduk. Di mana, diriku merasa senang akan permintaan Stella. Namun juga…
“Apa memang benar-benar perlu Stella? Diriku mempertanyakan permintaan Stella. Dengan ragu bercampur rasa khawatir aku mempertanyakannya.
“Maksudku… bukannya sudah cukup fotomu saja dan taman ini yang aku ambil sebagai kenang-kenangannya…?”
“Tentu kan Ian. Bukannya agak aneh Ian, kalau misalkan foto yang kamu ambil ini adalah sebagai kenang-kenangan, sedangkan kamunya tidak ada di dalam…?”
Aku sekali lagi dibuat tak bisa berkata apa-apa dibalik poin yang dikatakan Stella.
“Lagipun, kalau memang foto itu adalah sebuah kenang-kenangan. Tentunya di foto itu, ada aku bersama kamu di dalamnya Ian.”
Dengan perkataan Stella yang terakhir tadi itu, telah benar-benar membuatku tidak tahu lagi akan hal yang bisa kukatakan. Membuatku benar-benar ingin melakukan apa yang Stella inginkan.
Berfoto bersama dirinya. Lalu bagiku, kujadikan sebagai kenang-kenangan, yang nantinya akan terus kulihat bahkan ketika aku sudah tidak bisa bersama Stella lagi seperti saat ini.
Namun saat bersamaan aku sadar, yang kurang lebih menjadi dasar dari perasaan raguku sekarang ini.
Kalau aku benar-benar melakukannya. Dan saat dimana Stella dapat melihat nantinya. Lalu dirinya melihat foto itu, dirinya pastinya akan sadar. Kalau sebenarnya, yang menemaninya selama ini ternyata hanyalah diriku.
Teman masa kecil dan saudara dari tunangannya, Julan.
Singkatnya diriku takut dan gelisah akan kebohonganku akan diketahui oleh Stella.
Dan alasan lainku bersikap seperti ini. Itu karena aku yang masih mempertanyakan Ian yang apakah nantinya akan menemui dan menemani Stella setelah semua ini. Mengingat sikap dan pola pikirnya yang tidaklah kumengerti.
Dan apabila hal yang kulakukan ini pada akhirnya ketahuan oleh Stella, lalu Ian masih tidak menemui Stella. Sudah tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan untuk membuat Stella tidak memperlihatkan kesedihannya lagi.
Seperti dirinya yang sebelumnya ini.
Sehingga ketika ingin memberi jawaban ke Stella, mulutku hanya bergetar bingung. Tidak mengetahui bagaimana diriku menjawabnya ataupun kata-kata apa yang bisa kusampaikan untuk menolaknya.
Namun akhirnya, seolah pikiranku telah buntuh, yang jadinya hanya jawaban setuju yang keluar dari mulutku.
“Baiklah kalau maumu Stella,” jawabku dengan ramah sambil berusaha menyembunyikan rasa pasrah dan berat hatiku atas hal ini.