Tiga hari setelahnya.
Pulangku dari kerja, dan dengan niatanku yang seperti biasanya ingin menjenguk Stella.
Namun kali ini, entah mengapa aku kepikiran untuk menjadi Ian terlebih dahulu. Sebelum nantinya, hingga jam besuk selesai. Aku pun lalu menjenguk Stella dengan menjadi diriku sendiri.
Berpikiran seperti itu. Akupun lalu bersiap-siap menjadi Ian di depan Stella nantinya.
Hingga berada di depan pintu kamar Stella. Dan merasa sudah siap, aku mulai membuka pintu ruangan denganku yang melihat Stella santai berada di kasurnya.
“Siapa di sana…?” tanya Stella seperti biasanya.
“Ini aku Stella, Ian,” jawabku kali ini.
“Ian! Kamu yang ternyata datang,” balas Stella yang terdengar ceria.
Dengan wajahnya yang terlihat begitu cerah dan senang. Seolah dirinya telah mendapatkan sebuah hal baik sebelumnya.
“Ada apa Stella? Keliatannya kamu begitu senang sekarang ini?” balasku yang mempertanyakan sikapnya sekarang ini, sembari diriku berjalan menuju kursi yang berada di sampingnya.
Dirinya yang lalu tersenyum begitu lebar. Yang seolah sedari awal dirinya memang menungguku mempertanyakan akan rasa senang yang dirasakannya.
“Begini Ian, tadi suster datang menemuiku. Terus dirinya memberitahukan kalau mata yang didonorkan ke aku sudah di dapatkan Ian. Dan kabarnya, mata itu seminggu atau dua minggu lagi akan datang.”
“Be-Begitukah!?” tanggapku dengan refleks, membelalakkan mataku, dan membuatku beberapa saat terdiam saking terkejutku waktu mendengarnya.
“Syukurlah kalau begitu Stella! Itu berarti, tidak lama lagi kamu akan bisa melihat Stella,” lanjutku dengan senyum yang terlihat di wajahku. Dimana perasaan senang dan syukur kurasakan dalam diriku.
Meski ada sebuah keanehan yang kurasakan dalam diriku. Namun tidaklah kugubris ataupun kupikirkan begitu dalam.
“Begitulah Ian,” balas Stella balik singkat.
Dengan tanganku yang juga berada di samping tangan Stella. Yang Stella lalu memegang tanganku balik.
Seolah, perasaan senangnya pun bahkan terasa dalam genggaman tangannya. Seolah hal ini adalah cara lain dirinya menyampaikan apa yang dirasakannya kepadaku.
Aku tersenyum lebar lagi ke arah Stella. Mengelus-ngelus kepalanya, mengecup dahinya, memeluk dirinya begitu erat sambil membisikkan dengan rasa syukur yang begitu mendalam.
“Syukurlah Stella… Aku benar-benar bersyukur, akhirnya kamu akan bisa melihat lagi…”
Tersenyum atas apa yang kukatakan, dengan senanngya Stella lalu mengatakan.
“Makasih Ian.”
Dalam pelukan tersebut, dimana ketenangan dan diam yang kami lakukan. Rasa kesyukuran dan senang benar-benar kami rasakan satu sama lain. Lega bercampur juga tenang, seolah semua kesulitan dan penantian yang telah dialami oleh Stella, benar-benar telah membuahkan hasil baginya.
Benar-benar sebuah kesyukuran baik bagiku terlebih Stella akan hal ini.
Dan setelahnya, mengakhiri situasi diam yang aku dan Stella lakukan. Melepaskan pelukanku, Stella lalu menatapku. Yang ketika melihatnya, membuatku sekali lagi bertanya-tanya akan tatapan darinya.
“A-Ada apa lagi Stella…?”
Masih tersenyum akan kabar ini. Namun kali ini, seolah ada sesuatu yang dipikirkan Stella sekarang ini dengan dirinya menanggapinya sambil menggelengkan kepalanya.
“Tidak Ian. Hanya saja, ini mengingatkanku kembali saat kencan kita dulu…,”
Stella mengatakan hal itu, dengan pikirannya yang lalu seolah melayang. Mengingat kembali sebuah kenangan yang ada dalam pikirannya sambil tersenyum karenanya.
“Aku ingat saat kita berdua pergi ke mall pada hari itu, dan setelah aku ngeberitahuin kalau aku dapat pekerjaan di luar kota yang selalu aku impikan. Kamunya langsung ingin merayakannya dan membawaku ke atap mall tempat kita kencan hari itu…”
“…Bahkan sampai sekarang Ian, aku tidak tahu bagaimana cara kamunya dapat diberi izin untuk kitanya bisa naik ke sana. Tapi saat kamu membawaku ke sana, kamu ngeliatin pemandangan indah di sana. Yang bahkan Ian, sampai sekarang aku selalu mengingatnya.”
“Eh-ehmm…. Begitu yah…,” balasku dengan singkat. Dengank yang mencoba terdengar memang mengalami hal yang dikatakan Stella.
Stella lalu tersenyum lebar, dengan matanya yang tertutup seolah dirinya mengingat kembali di pikirannya, kejadian yang dikatakannya sebelumnya. Dan saat membuka matanya kembali, dirinya melanjutkan.
“Namun, yang membuatku paling mengingat akan kencan kita pada waktu itu Ian. Kamunya yang lansung mengajakku untuk berdansa. Padahal akunya tidak tahu berdansa, tapi kamunya yang memaksaku untuk melakukannya…”
“…Dan dengan hanya berdua kita yang ada di sana. Rasanya tempat, suasana dan keadaan pada waktu itu, benar-benar hanya disiapkan untuk kita berdua. Dan kamupun dan akunya berdansa di sana.”