Ian's Stories: My True Happines

Muh Fajrin
Chapter #23

PANGGILAN YANG MEMBERIKU SEBUAH KEBENARAN

Pukul delapan malam, di apartemenku.

 Dengan suasana gelap, tenang dan suram di dalamnya.

Tak ada lampu yang menyala. Gorden yang tertutup begitu baik, yang bahkan cahaya dari luar yang begitu terang pun tidak berhasil masuk dan hanya tenggelam di dalam gelapnya tempatku ini.

 Tak ada suara apapun yang terdengar di dalam. meskipun itu hanya suara tetesan air di keran apartemenku atau suara AC yang sedang berjalan.

 Berbaring dengan terlentang di kasur. Posisi yang entah sudah berapa jam aku sudah begini. Tak ada tindakan ataupun sesuatu yang kulakukan, selain hanya memikirkan suatu hal.

 Bermacam-macam dan banyak hal yang kupikirkan, namun untuk inti dari yang kupikirkan. Tidak lain hanyalah mengenai Stella saja.

 “Terasa déjà vu…” pikirku beberapa saat sebelumnya mengenai keadaanku sekarang ini. Tepatnya, ketika ku sedang memikirkan Stella dulunya.

 Dengan keadaan dan suasana yang hampir sama. Yang bahkan untuk inti pikiranku pun juga sama.

 Yang setelah mengatakan itu dan memikirkannya. Aku hanya tertawa kecil. Membayangkan kobodohanku yang melakukan hal yang benar-benar sama ini.

 Namun akhirnya, pikiranku tersebut seolah hanyalah sebuah penghibur sementaraku.

Dimana saat memikirkannya pertama kali, terasa cukup untuk memembuatku tertawa. Namun ketika memikirkannya sekali lagi, hiburan darinya pun kemudian hilang.

 Dan setelahnya, pikiranku lalu memikirkan kembali mengenai Stella. Yang entah itu suka ataupun dukanya kala bersamanya. Sedih ataupun senangnya saat menemaninya. Singkatnya adalah hal yang telah aku lakukan dan hasil dari yang aku lakukan kala menemani Stella selama ini.

Memikirkannya itu semua secara terus menerus, hingga kemudian bunyi dari handphoneku yang berada di meja samping kasurku berbunyi cukup keras.

Nada deringnya yakni nada dering yang kuatur untuk telpon. Sehingga aku hanya langsung mengambil dan mengangkatnya tanpa melihat siapakah yang menelponku.

 “Halo…” sapaku dengan lesu ke si penelpon.

 “Halo Julan,” Jawab si sosok yang menelponku. Dengan suaranya yakni seorang pria, yang untukku sendiri sangatlah sedikit memiliki kenalan. Baik itu pria maupun wanita.

 Meskipun dengan suaranya saja, akupun bisa tahu akan siapa yang menelponku ini.

Dan bagiku yang mengetahui faktanya. Menjadi hal yang begitu mengejutkan bagiku, dikala perasaanku dan keadaanku yang seperti ini.

 “I-Ian…?!” tanyaku yang tergagap. Memanggil lawan bicaraku saat ini, yang tidak lain adalah Ian.

“Ohh… kamu tahu kalau aku ini, Julan," balas balik Ian merendahkan. Dengan cara bicaranya seperti, membuat semua kesedihan dan kekosonganku yang sebelumnya ada, seketika menghilang dan menjadi kekesalan ke dirinya.

“Tentu sajakan,” jawabku dengan ketus. “Ketika aku mendapat telpon. Dan suara yang menelpon seperti suaraku. Tentunya, orang yang hanya bisa begitu, tidak lain lagi hanya kau saja Ian.”

 Ian lalu tertawa kecil remeh sekali lagi, sambil lanjutnya

Caramu untuk mengetahuiku cukup lumayan Julan.”

“Kesampingkan itu Ian…” Ujarku yang malas mendengar sikap menjengkelkan Ian.

 “Bagaimana cara kau bisa tahu nomor handphoneku?! Padahal seingatku aku tidak memberitahukanmu?!”

“Aku memintanya dari paman… Aku bilang ke paman kalau aku ada hal yang ingin aku bicarakan padamu…” Balas Ian dengan nada yang masih terdengar menjengkelkan bagiku. 

 Mencoba menahan emosiku yang sudah melonjak sedaritadi agar tidak keluar, dengan pikiranku yang sudah masa bodoh, dan dengan nada datar aku lalu bertanya.

 “Jadi… ada apa Ian? Apa maumu?”

 “Julan. Apa kamu ini tipe orang yang langsung ke inti?!” ungkap Ian yang terdengar mengejek. “Padahalkan bisa saja aku ingin menyapa atau iseng untuk menelponmu.”

 Yang mendengarnya, aku menghela napasku. Mengeluarkani emosiku yang seketika hampir memenuhiku kala mendengar pernyataan Ian sebelumnya. Yang terdengar begitu menyebalkan dan hanya dipenuhi dengan omong kosong darinya.

 “Tentunya kan mustahil kamu melakukan itu!” umpatku dalam hati, yang kurang lebih apa yang kurasakan ketika mendengar pernyataan Ian tadi.

“Meskipun hubungan kita tidak dekat Ian. Setidaknya aku tahu Ian, untuk kau yang basa-basi denganku. Itu bukan sikapmu yang biasanya Ian. Mendingan menyapa… bahkan untuk kata menelpon, dalam katalog kata di kamusku. Hal tersebut mustahil untuk kau lakukan, Ian...!” jelasku tanggap dan cepat.

 Ian lalu tertawa singkat setelah mendengar jawabanku sambil balasnya.

“Yah, mungkin kamu benar Julan tentang hal itu.

 Aku lalu seberusaha mungkin memaklumi sikapnya. Mencoba menahan diri dan tidak lepas emosi, membuat percakapan kami to the point, agar akunya bisa menyelesaikan percakapan ini secepat mungkin.

 “Jadi… Apa yang kau inginkan Ian…?”

Lihat selengkapnya