Ian's Stories: My True Happines

Muh Fajrin
Chapter #24

SEBUAH JAWABAN YANG KUDAPATKAN DAN PERMOHONANKU

Mendengar penjelasan Ian kali ini, pikiranku lalu mengeluarkan satu kesimpulan sederhana...

“Ternyata ayah dan ibu seperti itu yah.”

 Kenyataan yang tersampaikan di dalam hati dan pikiranku. Sebuah kebenaran kecil akan ayah dan ibuku. Dimana kasih sayang yang dilakukan mereka. Ternyata bagi anak mereka, terasa seperti rasa kasih sayang yang lebih dibandingkan yang lain. Baik itu kasih sayang mereka ke diriku ataupun ke Ian.

 Sebuah rasa kasih sayang yang bagiku sangatlah hebat, namun saat bersamaan diriku sadar akan kerugian dari rasa kasih sayang yang mereka lakukan ini. Dimana hasilnya adalah apa yang terjadi sekarang ini.

Sedikit terkejut atas fakta ini. Namun keterkejutan ini seiring waktu berkurang dan menghilang, dimana saat bersamaan pula Ian melanjutkan ceritanya.

Dan lanjut dari Ian. Merasakan kasih sayang, kepedulian dan hal baik seperti itu dari ayah dan ibu. Sampai membuat dirinya terlena akan hal-hal baik tersebut.

Hingga ketika hari saat ayah dan ibu mengalami kecelakaan tersebut.

Hal itu membuat Ian begitu terguncang dan menjadi hancur karenanya.

Dirinya menjadi begitu sangatlah terpuruk, hancur, bahkan bagi Ian mengingat perasaan dirinya pada hari itu. Kata “bersedih” bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya pada waktu itu.

Begitu hancur dan terluka. Terasa sakit dan hatinya seolah telah ditusuk berkali-kali kemudian hancur begitu saja tanpa menyisahkan apapun. Kurang lebih itulah perasaan yang dirasakan oleh Ian waktu itu. Singkatnya, apabila ingin disampaikan….

Dirinya saat itu sedang merasakan sebuah “penderitaan”.

Sebuah perasaan yang begitu dia jauhi dan tak ingin dirasakannya. Tak ingin dialaminya, tak ingin dirinya lakukan, dan tak ingin dirinya mengetahuinya.

Namun kali ini, penderitaan—

Hal yang paling dirinya jauhi tersebut, terjadi begitu tiba-tiba dan telah begitu menghancurkan dirinya.

Dan ketika pada hari saat dirinya ataupun aku melihat mayat mereka. Dibalik terlingkupnya dirinya pada mayat ayah, Ian menggumamkan…

“Mengapa ayah?! Ibu?! Kalian membuatku merasakan penderitaan ini?! Mengapa kalian membuatku menderita seperti ini?! Mengapa begitu tiba-tiba?!” dan kata-kata dari Ian yang lainnya. Yang intinya mempertanyakan, marah, dan kesal kepada ayah dan ibu atas kematian mereka yang tiba-tiba ini.

Yang mulai saat itu pula bagi Ian, “penderitaan” yang sebelumnya adalah sesuatu yang tidak ingin dirasakannya, dirasakannya ataupun dialaminya bahkan membencinya. Kini berubah menjadi hal yang menakutkan bagi Ian.

Menjadi sesuatu yang bagi Ian, baik semenjak waktu itu bahkan sekarang ini. Adalah sesuatu yang benar-benar ditakutinya, dibencinya, tak ingin dialaminya lagi, bahkan menjadi trauma tersendiri bagi dirinya.

 Yang pada saat ini pikiranku seolah mulai memberikanku gambaran. Terasa kabur, namun disaat bersamaan pula dari gambaran dipikiranku ini terungkap sedikit demi sedikit. Lalu seiring pula dimana Ian melanjutkan ceritanya.

 Ian dengan ceritanya, kemudian mulai menceritakan dirinya setelah hari meninggalnya ayah dan ibu.

 Tidak seperti diriku yang setelah hari kematian ayah dan ibu, masih bersedih dan meratapi kematian mereka selama beberapa saat.

Ian tidak melakukannya, dengan alasannya dirinya sudah mengeluarkan rasa sedih yang dirasakannya akan kematian ayah dan ibu dalam satu waktu. Lalu setelahnya, hilang dari dirinya begitu saja.

Namun dari setelahnya. Setelah semua hal mengenai kematian ayah dan ibu terjadi. Ian mulai mengintrospeksi dirinya dari hal yang dianggapnya telah salah.

Baik itu dalam bentuk bertindak, sikap yang mestinya dirinya lakukan,cara bersosialisasi dirinya, ataupun juga bagaimana Ian berperasaan kepada orang lain. Yang semuanya dirinya lakukan dengan sikap waspada.

Sewaspada mungkin demi dirinya tidak lagi merasakan penderitaan yang membuatnya hancur seperti saat kematian ayah dan ibu.

Dan salah satunya…

“Men-jauhi Stella…?! Apakah benar…?!” potongku dari cerita Ian. Yang sesaat sebelumnya pikiranku telah menyelesaikan gambaran yang kupikirkan sebelumnya.

Suara Ian terdengar menga-nga. Mengeluarkan suara-suara riak tanpa maksud selama beberapa detik, Hingga kemudian membalas.

“Seperti yang kamu bilang Julan. Alasanku menjauhi Stella selama ini. Selama dirinya menjadi buta, dan dirawat di rumah sakit. Tidak pernah menjenguk dirinya, menemaninya, merawatnya. Itu karena aku tidak ingn merasakan penderitaan, Julan,” jawab Ian tegas. Seolah apa yang dikatakannya ke aku saat ini adalah sebuah kebenaran baginya dan masuk akal dirinya untuk melakukannya.

Yang saat mendengarnya, aku terdiam seribu bahasa. Tak tahu mesti berkata apa, ataupun berkomentar bagaimana mengenai alasan yang telah diceritakan Ian ke diriku.

Lihat selengkapnya