“Maaf, Rye. Saya sedang sangat sibuk minggu ini. Pertemuan kita terpaksa harus ditunda,” suara Tossy terdengar di telepon dengan nada cepat. “Mungkin minggu depan kita bisa jadwalkan ulang.”
Rye terdiam sesaat sebelum menjawab, “Baik, Pak. Saya akan menunggu kabar dari Bapak.”
Telepon terputus, meninggalkan Rye dengan perasaan campur aduk. Ini bukan pertama kalinya Tossy membatalkan pertemuan, tetapi kali ini, setelah berjanji akan meninjau proposal, penundaan itu terasa jauh lebih berat. Ia mencoba untuk tetap tenang, meyakinkan dirinya bahwa ini hanya masalah waktu.
Kembali duduk di meja perpustakaan yang sudah menjadi tempat rutinnya, Rye menatap kosong pada layar laptop yang menampilkan proposal penelitiannya. Pikiran-pikirannya mulai berkelindan. "Apakah ini akan terus terjadi? Apakah ini pertanda buruk?"
Namun, Rye tidak ingin menyerah begitu saja. Ia mengingat tujuan awalnya—mengapa ia memilih program ini, mengapa ia rela menghabiskan begitu banyak waktu dan tenaga untuk mendapatkan gelar Ph.D. Semua itu adalah mimpi yang selama ini ia perjuangkan. Ia menenangkan dirinya dengan pikiran bahwa Tossy mungkin benar-benar sibuk dengan banyak tugas sebagai profesor ternama. Wajar saja jika ia tidak selalu bisa menepati jadwal yang dijanjikan.
Malam itu, Rye memutuskan untuk tetap melanjutkan penelitian sambil menunggu. Ia membuka kembali beberapa jurnal yang relevan dan mempelajari lebih dalam konsep-konsep yang mungkin akan ia perbaiki berdasarkan masukan yang (mudah-mudahan) segera ia terima dari Tossy.
Pagi berikutnya, Rye kembali ke kampus dengan semangat baru. Ia bertekad untuk tetap produktif meskipun bimbingan Tossy tertunda. Perpustakaan kampus yang sunyi mulai dipenuhi oleh mahasiswa yang sibuk dengan tugas akhir semester, namun Rye tetap fokus pada penelitiannya sendiri.
Di sela-sela kegiatannya, ia menerima pesan singkat dari Tossy: “Maaf sekali lagi, Rye. Minggu ini saya benar-benar sibuk. Akan hubungi Anda secepatnya untuk jadwal baru.”
Rye menghela napas panjang. Ia menatap layar ponselnya selama beberapa detik sebelum meletakkannya kembali ke meja. Kali ini, kekecewaan mulai muncul di dadanya. “Sibuk terus,” gumamnya pelan. Tapi ia tetap berusaha meyakinkan dirinya untuk bersabar. Ini mungkin hanya penundaan kecil dan bukan pertanda sesuatu yang lebih buruk.
Hari-hari berlalu tanpa kabar lebih lanjut dari Tossy. Setiap kali Rye membuka email atau pesan singkat, tidak ada apa-apa. Waktu yang terus berjalan semakin membuat Rye gelisah, tapi ia menekan perasaannya dan memilih untuk terus bekerja. Ia tahu bahwa sebagai mahasiswa, menjaga profesionalisme adalah kunci dalam hubungan bimbingan ini. Lagipula, Tossy adalah orang yang berpengalaman, dan mungkin memang ia terlalu sibuk dengan urusan lain.