"Ada apa ini? Kenapa tidak bisa terkirim?" Rye bergumam kesal sambil mengetik ulang alamat email Professor Tossy Toso di layar laptopnya. Sudah berkali-kali ia mencoba mengirimkan revisi proposalnya, tapi selalu saja ada pesan kesalahan muncul. "Koneksi jaringan bermasalah," kata notifikasi itu. Ia menghela napas panjang, menatap layar dengan pandangan frustasi.
Perpustakaan kampus sore itu sepi, hanya suara langkah mahasiswa yang sesekali terdengar. Rye mencoba tetap tenang, meskipun kegelisahan mulai menguasai pikirannya. Ia sudah bekerja keras menyelesaikan revisi proposal ini, dan sekarang, saat ia sudah siap untuk mengirimkannya, masalah teknis datang menghampiri.
"Aku harus cari cara lain," pikir Rye sambil meraih ponselnya. Ia mencoba membuka email di ponsel, berharap koneksi internet di sana lebih stabil. Jarinya bergerak cepat di atas layar, namun hasilnya sama. Pesan itu masih tidak bisa terkirim.
Rye merasa cemas. Ini bukan hanya masalah teknis biasa—setiap menit yang terbuang membuatnya semakin jauh dari mendapatkan bimbingan yang ia butuhkan. Proposal ini adalah langkah penting dalam penelitian doktoralnya, dan ia tidak ingin ada penundaan lagi.
"Kenapa sekarang, sih?" gumamnya dengan nada kesal, sembari menutup laptop dan menatap sekitar perpustakaan. Perasaan gelisah makin menguat. Tossy sudah sulit dihubungi, dan sekarang, bahkan menyerahkan revisi proposal pun jadi tantangan tersendiri. Rye tahu bahwa jika ia tidak segera mengirimkan revisinya, akan semakin sulit untuk mendapatkan perhatian dari promotor yang tampaknya sudah terlalu sibuk.
Setelah berusaha selama hampir satu jam, Rye akhirnya memutuskan untuk keluar dari perpustakaan. Udara malam yang sejuk menyapa wajahnya saat ia melangkah keluar dari gedung. Rye memutuskan untuk menuju kedai kopi terdekat yang biasanya memiliki koneksi internet yang lebih stabil. Ia berharap di sana ia bisa mengirimkan proposal tanpa hambatan.
Setibanya di kedai kopi, Rye segera membuka laptopnya lagi dan mencoba mengirim email ulang. Kali ini, jaringannya lebih baik. Ia menarik napas lega ketika akhirnya email terkirim. Namun, kegembiraan itu hanya sesaat. Ia sadar bahwa masalah belum selesai sampai ia mendapatkan tanggapan dari Tossy.
Rye menatap layar laptopnya dengan cemas, menunggu balasan. Sudah hampir sebulan sejak Tossy terakhir kali menunda pertemuan mereka. Dan setiap kali Rye mencoba menghubungi, Tossy selalu memiliki alasan untuk menunda lagi.
"Maaf, saya sedang sibuk. Minggu depan kita bahas ya," begitu bunyi balasan Tossy pada pesan sebelumnya. Namun, minggu depan datang dan pergi tanpa ada kabar. Rye mulai meragukan apakah ia benar-benar bisa bergantung pada Tossy sebagai pembimbingnya.
Beberapa hari kemudian, Rye kembali mencoba menghubungi Tossy untuk menanyakan tentang proposal revisinya. Kali ini, ia mencoba menelepon langsung, berharap bisa mendapatkan jawaban yang lebih pasti. Namun, seperti yang ia duga, panggilannya tidak diangkat.
"Tossy pasti lagi sibuk," Rye mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun di dalam hati ia semakin khawatir. Penelitian ini penting, dan tanpa bimbingan dari Tossy, ia merasa seolah-olah berjalan dalam kegelapan. Setiap kali ia berpikir telah membuat kemajuan, selalu ada sesuatu yang menghalangi.