“Maaf, Rye. Minggu ini saya harus ke luar kota untuk menghadiri konferensi. Kita tunda pertemuannya lagi, ya?” Pesan singkat dari Tossy itu muncul di layar ponsel Rye tepat satu jam sebelum pertemuan yang telah dijadwalkan. Rye hanya bisa menatapnya dengan kecewa, merasakan sedikit kekecewaan yang perlahan-lahan berubah menjadi frustrasi.
Sudah kali ketiga Tossy membatalkan pertemuan mereka. Pertemuan yang ia harapkan bisa menjadi titik terang bagi penelitiannya kini terasa semakin jauh dari jangkauan. Rye menghela napas panjang, merasa kelelahan—bukan fisik, melainkan mental. Setiap kali Tossy menunda, rasanya seperti menginjak gas di dalam mobil yang tak pernah bergerak maju.
"Apa lagi alasan kali ini?" Rye bergumam pelan pada dirinya sendiri. Ia tahu Tossy adalah profesor yang sibuk, tapi entah mengapa setiap alasan yang diberikan selalu terdengar seperti pengalihan tanpa arah. Rye merasa Tossy tidak benar-benar memberi perhatian yang layak pada penelitiannya.
Dengan berat hati, Rye membalas pesan Tossy. "Baik, Pak. Kapan Bapak bisa mengatur ulang pertemuan kita?"
Pesan dikirim, namun rasa kecewa tetap menggerogoti hatinya. Setiap kali jadwal dibatalkan, motivasi Rye perlahan-lahan terkikis. Ia mulai bertanya-tanya apakah penelitian yang ia kerjakan benar-benar akan mendapatkan bimbingan yang dibutuhkannya, atau malah terjebak dalam ketidakpastian yang tak berujung.
Di perpustakaan kampus, Rye duduk sendirian di sudut ruangan. Di hadapannya, laptop yang menyala memperlihatkan halaman-halaman proposal yang masih sama. Entah kenapa, setiap kali ia mencoba membuka dokumen itu, ia merasa buntu. Tidak ada kemajuan. Tidak ada arah yang jelas.
Mata Rye menatap kosong layar laptop, dan pikirannya terlempar ke beberapa bulan yang lalu, ketika ia pertama kali memulai perjalanan ini dengan optimisme yang tinggi. Tossy, dengan segala reputasinya sebagai profesor terkemuka, tampak seperti pilihan yang sempurna. Namun, semakin lama perjalanan ini berlangsung, optimisme itu semakin memudar, digantikan oleh rasa ragu dan bingung.
Beberapa hari kemudian, Tossy akhirnya membalas pesannya, tetapi lagi-lagi tanpa kepastian. "Minggu depan saya ada waktu. Nanti saya kabari lagi." Rye membaca pesan itu dengan perasaan kosong. Minggu depan? Seberapa sering ia sudah mendengar janji seperti itu? Dan seberapa sering janji itu berakhir dengan penundaan lain?
Rye menutup ponselnya dengan frustasi. Rasanya seperti terjebak dalam lingkaran yang tak ada akhirnya. Pertemuan yang tak pernah terjadi itu menghilangkan rasa percaya dirinya sedikit demi sedikit. Bagaimana bisa ia melanjutkan penelitian jika arahannya terus tertunda?
Di tengah kebingungannya, Rye memutuskan untuk mencari jawaban sendiri. Meskipun bimbingan Tossy sangat ia butuhkan, Rye sadar bahwa ia tidak bisa terus bergantung pada janji yang tak kunjung ditepati. Ia membuka laptopnya dan mulai mencari literatur tambahan, mencoba untuk menemukan solusi atas masalah-masalah dalam penelitiannya sendiri.