"Pak Tossy, saya benar-benar butuh arahan saat ini," Rye mengetik pesan dengan perasaan cemas. Sudah hampir tiga bulan berlalu sejak ia terakhir kali mendapatkan masukan yang berarti dari promotornya. Proposalnya telah tertunda terlalu lama, dan semakin hari, Rye merasa dirinya semakin tertinggal jauh dari teman-teman seangkatannya.
Rye memandang ponselnya dengan harapan besar. Ia terus-menerus memeriksa pesan masuk, berharap ada balasan dari Tossy. Namun, seperti biasa, yang datang hanyalah keheningan.
Dengan perasaan putus asa yang mulai tumbuh, Rye kembali duduk di depan laptopnya. Proposal penelitian yang setengah selesai menatap balik padanya dari layar, seakan menuntut solusi yang tak pernah datang. Ia tahu bahwa ia membutuhkan bimbingan untuk melanjutkan, tetapi Tossy terus saja tidak bisa diandalkan. Setiap usaha untuk menghubungi Tossy hanya berujung pada janji-janji kosong dan alasan-alasan tentang kesibukan yang tak pernah ada habisnya.
Hari itu, Rye memutuskan untuk mencoba cara lain. Ia menghubungi bagian administrasi akademik untuk menanyakan tentang prosedur resmi bagi mahasiswa yang membutuhkan bimbingan lebih intensif. Namun, setelah beberapa panggilan telepon, jawaban yang ia terima tidak menggembirakan.
"Untuk saat ini, Anda masih terikat dengan promotor Anda, Pak Rye. Jika ada keluhan terkait bimbingan, Anda bisa ajukan secara resmi, tapi prosesnya mungkin akan memakan waktu," suara di ujung telepon terdengar sopan, tapi jauh dari solusi yang Rye harapkan.
Rye menghela napas panjang. Ia tahu bahwa melaporkan Tossy ke pihak universitas bisa menjadi langkah drastis, dan mungkin akan memperburuk hubungan mereka. Namun, di sisi lain, ia semakin terdesak oleh kebutuhan akan arahan. Waktu terus berjalan, dan semakin lama ia terjebak dalam ketidakpastian, semakin besar kemungkinan penelitiannya gagal mencapai target.
Malamnya, di apartemennya yang sepi, Rye merenung. Ia memikirkan berbagai kemungkinan. Apakah ia harus tetap bertahan dengan Tossy, menunggu dengan sabar seperti yang selama ini ia lakukan? Atau, apakah sudah saatnya mencari solusi lain, bahkan jika itu berarti menempuh jalan yang lebih sulit?
Saat itu, ponselnya berbunyi. Rye dengan cepat meraihnya, dan kali ini, Tossy benar-benar mengirim pesan. "Maaf, Rye. Saya belum sempat meninjau proposal Anda lebih dalam. Mungkin kita bisa bertemu minggu depan."
Rye menatap pesan itu dengan hati yang bercampur aduk. Lagi-lagi janji yang sama. Minggu depan. Alasan yang tak pernah berujung. Di satu sisi, ia merasa marah dan kecewa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa melepaskan diri dari bimbingan Tossy tidak akan mudah. Dengan segala kekurangan Tossy, ia tetap seorang profesor yang dihormati di bidangnya. Dan Rye khawatir, jika ia terlalu keras atau mengeluh, itu bisa berdampak buruk pada penelitiannya.