IBLIS BERTOPENG GURU BESAR

Rizki Ramadhana
Chapter #9

Janji Kosong

“Rye, minggu depan kita jadwalkan pertemuan, ya. Kali ini saya pastikan kita bisa diskusi langsung,” pesan dari Tossy muncul di layar ponsel Rye. Kata-kata itu terdengar familiar, seperti janji-janji yang pernah diucapkan sebelumnya. Rye ingin percaya, namun dalam hatinya, ia tahu ada kemungkinan besar janji itu tidak akan ditepati lagi.


Rye duduk diam di ruang perpustakaan yang sepi, hanya terdengar suara lembut AC yang berhembus. Ia membaca ulang pesan itu berulang kali, mencoba menahan emosi yang sudah lama tertahan. Sudah terlalu sering Tossy membuat janji tanpa ada hasil nyata. Janji-janji kosong yang semakin hari membuat semangat Rye tergerus.


“Kenapa dia selalu begini?” gumam Rye pelan, meski tak ada siapa pun yang mendengarnya. Ia merasa kemarahannya semakin tumbuh, bersamaan dengan frustrasi yang sudah berbulan-bulan menumpuk.


Hari pertemuan yang dijanjikan pun tiba. Rye sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan matang. Proposalnya sudah dicetak, catatan dan pertanyaan-pertanyaan sudah dituliskan dengan rapi. Ia tiba lebih awal di kampus, duduk di ruang tunggu kantor Tossy, berharap kali ini Tossy benar-benar akan menepati janjinya.


Namun, waktu terus berlalu. Lima belas menit, tiga puluh menit, satu jam. Tossy tidak kunjung muncul.


Rye berulang kali memeriksa ponselnya, mengirim pesan singkat kepada Tossy, menanyakan apakah ada perubahan jadwal. Tetapi, sama seperti sebelumnya, tak ada jawaban. Rye duduk di kursi, mencoba tetap tenang, meskipun kemarahannya mulai mendidih.


Akhirnya, setelah hampir dua jam menunggu, Rye menerima pesan singkat dari Tossy. “Maaf, Rye. Ada urusan mendadak, pertemuan kita harus dibatalkan lagi. Kita jadwalkan lain waktu, ya?”


Rye menatap pesan itu dengan tangan gemetar. Ini bukan kali pertama Tossy membatalkan pertemuan, dan entah mengapa, alasan itu selalu sama—urusan mendadak. Amarah yang selama ini ia coba tahan mulai mendidih, menguasai dirinya. Ini sudah terlalu banyak, terlalu sering. Rye merasa dirinya telah dipermainkan.


Dengan hati yang berat, Rye keluar dari gedung kampus, berjalan cepat menuju kafe kampus tempat ia biasanya bertemu teman-temannya. Di sana, ia menemukan Awan dan beberapa teman lain sudah duduk di meja, menikmati kopi sore mereka.


“Lagi-lagi dibatalin?” tanya Awan dengan nada prihatin begitu melihat wajah Rye yang tegang.


Lihat selengkapnya