“Gue nggak tahu, Wan, ini kayak jalan buntu,” Rye mengeluh saat duduk di kantin kampus bersama Awan. Di depannya, secangkir kopi hitam yang masih mengepul, namun Rye tidak tertarik untuk menyentuhnya. “Gue merasa semakin terjebak.”
Awan mengerutkan kening. “Lo udah kirim surat ke kepala program studi, kan? Ada tanggapan?”
Rye mengangguk lemah. “Iya, gue udah ketemu. Kepala program studi bilang kalau gue boleh ajukan permintaan promotor baru, tapi gue harus dapat persetujuan dari Tossy dulu. Dan itu masalahnya—Tossy nggak pernah merespons.”
Awan terdiam, berpikir. Ia tahu betapa frustrasinya Rye dalam menghadapi situasi ini, dan jalan keluarnya tampak semakin sulit. "Kalau lo minta promotor baru, artinya lo harus mulai dari awal lagi? Atau gimana?"
Rye menatap ke arah luar jendela, di mana mahasiswa-mahasiswa lain sibuk berjalan ke kelas masing-masing. “Nggak sepenuhnya mulai dari nol sih, tapi gue harus menyesuaikan penelitian dengan bimbingan promotor baru. Itu bisa makan waktu. Dan kalau Tossy marah atau merasa tersinggung, gue takut dia justru bakal ngerepotin gue lebih jauh."
Awan menghela napas panjang. “Jadi lo terjebak, ya? Kalau lo ganti promotor, lo bakal kena risiko penelitian lo molor lebih lama. Tapi kalau lo terusin sama Tossy, lo nggak dapet arahan apa-apa.”
Rye mengangguk. Dilema itu sudah lama mengganggu pikirannya, tapi sekarang semakin nyata. Di satu sisi, mencari promotor baru bisa memberi bimbingan yang lebih jelas dan konsisten. Namun di sisi lain, ia sadar bahwa prosesnya tidak akan mudah. Penelitiannya bisa tertunda, dan mungkin ia harus membuang banyak waktu untuk menyesuaikan lagi dengan gaya bimbingan promotor yang baru. Ini adalah keputusan yang sulit, dan tidak ada jaminan bahwa solusi yang ia pilih akan membuahkan hasil yang cepat.
Malam itu, Rye duduk sendirian di apartemennya. Laptop terbuka di depan, tetapi pikirannya melayang-layang. Ia berusaha keras mencari jawaban, namun semakin ia merenungkan pilihannya, semakin buntu ia rasakan. Proposal yang ia tulis selama ini sudah setengah jalan, tetapi tanpa bimbingan dari Tossy, proposal itu terasa seperti karya yang belum selesai. Setiap kali ia mencoba melanjutkan, selalu ada rasa ragu yang menghalangi.
Pikiran untuk mengganti promotor terus menghantuinya. Setiap kali ia membayangkan harus berurusan lagi dengan proses administrasi dan penyesuaian baru, hatinya terasa berat. Namun, ia juga tahu bahwa terus bergantung pada Tossy sama sekali tidak produktif. Waktu semakin berlalu, dan penelitian yang seharusnya sudah berjalan jauh malah terhenti di tengah jalan.