Hari-hari berlalu tanpa ada perubahan yang berarti. Rye duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan proposal penelitiannya yang belum selesai. Setiap kalimat yang ia ketik terasa berat, seperti mencoba berjalan di tengah lumpur tebal. Sudah berbulan-bulan berlalu, tetapi penelitian ini seolah tak pernah bergerak maju.
Rye merasakan tekanan yang semakin kuat. Waktu terus berjalan, tetapi ia belum menghasilkan apa pun. Di sisi lain, Tossy sudah mulai benar-benar mengabaikan segala bentuk komunikasi. Setiap kali Rye mengirim pesan atau email, balasan yang ia tunggu tak pernah datang. Tossy seperti menghilang dari kehidupan akademiknya.
“Mungkin dia memang sudah menyerah pada aku,” gumam Rye pelan, merasa putus asa. Ia mencoba mengabaikan rasa takut yang terus menghantui pikirannya. Di setiap detik yang berlalu, ia sadar bahwa semakin banyak waktu yang terbuang, semakin besar kemungkinan penelitiannya tidak selesai tepat waktu. Biaya SPP yang harus terus dibayar semakin menambah beban mental yang ia rasakan.
Malam itu, Rye duduk di apartemennya yang sepi, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Di atas meja, segelas teh yang sudah dingin dan beberapa buku referensi terbuka, tetapi pikirannya tidak bisa fokus. Ia terus berpikir tentang masa depannya. Bagaimana jika ia tidak bisa menyelesaikan program doktoralnya? Bagaimana jika usahanya selama ini berakhir sia-sia?
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Rye dengan cepat meraihnya, berharap pesan dari Tossy, tapi yang muncul hanyalah pesan dari teman lamanya, Mira.
“Gimana penelitian lo, Rye? Ada kemajuan?” tulis Mira dalam pesannya.
Rye mengetik balasan dengan hati-hati, berusaha menyembunyikan rasa frustrasinya. “Belum, Mi. Tossy nggak balas apa-apa lagi. Udah berbulan-bulan nggak ada kabar. Aku benar-benar stuck.”
Pesan itu dikirim, dan Rye menunggu balasan dengan perasaan campur aduk. Tak lama kemudian, Mira menjawab, “Wah, Rye, lo nggak bisa terus kayak gini. Ini udah terlalu lama. Tossy nggak bisa diandalkan lagi.”
Rye menatap pesan itu dalam diam. Mira benar, dan dia tahu itu. Namun, entah kenapa, setiap kali Rye mencoba mencari solusi, rasa takut selalu menghalanginya. Mengganti promotor? Itu ide yang terus terlintas di pikirannya, tetapi risikonya besar. Tidak hanya akan memperlambat proses studinya, tetapi juga bisa membuat hubungan profesionalnya dengan Tossy memburuk lebih jauh.
Di keheningan malam, Rye mulai merenung lebih dalam. Apa yang sebenarnya ia takutkan? Apakah ia takut gagal, ataukah ia takut untuk menghadapi kenyataan bahwa Tossy sudah tidak lagi peduli pada penelitiannya? Kedua kemungkinan itu menghantui Rye setiap hari.
Esok paginya, Rye memutuskan untuk mencoba satu kali lagi. Ia menulis email singkat kepada Tossy, berharap kali ini Tossy akan menanggapi.