IBLIS BERTOPENG GURU BESAR

Rizki Ramadhana
Chapter #14

Rasa Terjebak

Rye duduk sendirian di ruang tamu apartemennya, memandangi layar laptop yang tidak menunjukkan kemajuan. Setiap detik yang berlalu terasa semakin menyakitkan, seolah-olah waktu menguap begitu saja tanpa meninggalkan apa-apa. Di kepalanya, bayangan tenggat waktu dan uang SPP yang terus menumpuk menghantui tanpa henti. Ia sudah menghabiskan begitu banyak waktu dan uang, namun hasilnya nol besar.


Rye menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Universitas tidak memberikan respons apa pun sejak laporan formal yang ia ajukan beberapa minggu lalu. Semakin lama ia menunggu, semakin besar rasa frustrasi yang menggerogoti hatinya. Tidak ada tindakan nyata dari pihak kampus, dan Tossy, seperti biasanya, tidak memberikan kabar atau bimbingan yang ia harapkan.


"Kenapa semuanya seperti ini?" Rye berbisik pada dirinya sendiri. Ia merasa terjebak dalam lingkaran masalah yang tidak pernah ada akhirnya. Setiap langkah yang ia coba ambil selalu terhenti oleh sesuatu—entah itu birokrasi yang lambat, atau Tossy yang tak bisa diandalkan.


Sore itu, Rye memutuskan untuk keluar sejenak, berharap udara segar bisa meredakan sedikit ketegangan yang ia rasakan. Ia berjalan menyusuri trotoar kampus dengan langkah lambat, matanya memandang lurus ke depan tanpa benar-benar fokus. Di dalam pikirannya, ia hanya bisa memikirkan satu hal: bagaimana caranya keluar dari situasi ini?


Saat tiba di kafe kampus, ia melihat Awan duduk di sudut ruangan, sedang sibuk dengan laptopnya. Awan melihat Rye masuk dan melambaikan tangan.


“Bro, sini duduk,” panggil Awan. Rye mengambil tempat duduk di hadapan Awan, namun kali ini tanpa senyuman atau sapaan seperti biasanya.


“Lo baik-baik aja, Rye?” tanya Awan, memandangi wajah Rye yang jelas-jelas tampak lelah dan penuh beban.


Rye menggeleng lemah. “Gue nggak tahu, Wan. Rasanya gue terjebak. Nggak ada yang jalan. Tossy nggak ngasih bimbingan, dan kampus nggak bergerak cepat buat ngatasin laporan gue. Gue udah buang banyak waktu dan uang, tapi hasilnya nggak ada.”


Awan menghela napas, menyesap kopinya sebelum menaruh cangkirnya kembali di atas meja. "Gue ngerti perasaan lo. Gue tahu ini nggak mudah. Tapi lo udah coba semuanya, Rye. Lo udah lapor, lo udah sabar. Sekarang lo cuma perlu menunggu sedikit lebih lama."


"Berapa lama lagi gue harus nunggu?" Rye mengangkat suaranya, meskipun ia tahu Awan tidak bersalah. "Ini udah berminggu-minggu, dan nggak ada kabar apa pun dari kampus. Gue mulai ragu kalau mereka benar-benar mau ngambil tindakan."


Awan terdiam sejenak, memandangi wajah Rye yang penuh frustrasi. "Lo punya pilihan lain, Rye? Lo bisa mundur sekarang, tapi lo udah terlalu jauh buat menyerah."

Lihat selengkapnya