Malam itu, setelah panggilan dengan keluarganya, Rye berbaring di tempat tidur, namun pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata ibunya dan ayahnya terus bergema di kepalanya—tentang kemungkinan untuk menyerah dan mempertimbangkan ulang prioritas hidupnya. Tetapi baginya, menyerah bukanlah pilihan yang mudah diterima. Terlalu banyak yang sudah ia korbankan, terlalu banyak mimpi yang ia gantungkan pada gelar Ph.D.-nya.
Di tengah kegelapan kamarnya, Rye mulai membayangkan apa yang akan terjadi jika ia benar-benar gagal menyelesaikan studinya. Bagaimana jika semua usaha ini tidak membawa hasil? Bagaimana jika mimpi-mimpinya runtuh di depan matanya?
Bayangan itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia takut. Ketakutan akan kegagalan menyelimuti dirinya seperti selimut dingin yang tidak bisa ia lepaskan.
"Apa yang akan terjadi kalau gue nggak selesai?" bisik Rye pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam di kegelapan malam. Di benaknya, ia mulai memvisualisasikan skenario terburuk—mimpi yang ia kejar selama bertahun-tahun hancur begitu saja. Ia melihat dirinya pulang ke rumah tanpa gelar Ph.D., tanpa prestasi yang bisa ia banggakan. Semua pengorbanan yang sudah ia lakukan, semua waktu dan biaya yang sudah dikeluarkan, terasa seperti sia-sia.
Rye mencoba mengusir pikiran itu, namun semakin ia berusaha, semakin kuat bayangan itu menghantuinya. Jika ia gagal, ia akan kehilangan kesempatan untuk menjadi seorang akademisi, posisi yang selama ini ia impikan. Ia sudah membayangkan masa depannya di dunia penelitian, mengajar di universitas, menjadi bagian dari diskusi akademik yang ia kagumi. Semua itu kini tampak jauh, semakin menjauh setiap harinya.
Keesokan harinya, dengan pikiran yang masih penuh ketidakpastian, Rye mencoba melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Ia duduk di depan laptop, menatap layar proposal penelitiannya yang masih terbengkalai. Tossy belum juga memberikan tanggapan apa pun, dan email yang ia kirim kepada administrasi universitas juga belum mendapatkan jawaban yang memadai. Semua seolah-olah diam di tempat.
“Kenapa gue masih di sini?” Rye bergumam pelan, merasakan keputusasaan semakin menguasai dirinya. Rasanya seperti berjalan di tempat, setiap langkahnya terhalang oleh tembok ketidakpastian.
Pikiran tentang masa depan terus membayangi setiap gerakannya. Jika ia gagal, ia tidak hanya akan kehilangan gelar Ph.D., tapi juga harga dirinya. Semua orang yang mendukungnya, keluarganya, teman-temannya, pasti akan kecewa. Rye bisa membayangkan bagaimana ia harus menjelaskan kegagalan ini kepada mereka—kepada ibunya yang selalu percaya bahwa ia akan berhasil, kepada ayahnya yang selalu mendorongnya untuk maju.
Rye merasakan sesak di dadanya. Masa depan yang dulu terlihat cerah kini tampak suram dan gelap. Jika Tossy terus mengabaikannya, dan universitas tidak segera mengambil tindakan, penelitian ini mungkin tidak akan pernah selesai. Dan jika itu terjadi, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.