Malam itu, Rye duduk di depan laptopnya yang terbuka, namun layar hanya menampilkan halaman kosong. Ia sudah menatap layar itu selama berjam-jam, berharap ada ide atau dorongan untuk melanjutkan penelitiannya, tetapi yang datang hanyalah perasaan hampa. Semua usaha yang ia lakukan selama ini terasa sia-sia. Setiap upaya untuk maju selalu terbentur oleh janji kosong dan ketidakpastian dari Tossy.
Di pikirannya, bayangan masa depan yang selama ini ia impikan perlahan mulai pudar. Gelar Ph.D. yang dulu terasa dekat kini tampak semakin jauh, seolah-olah tidak mungkin lagi tercapai. Semua yang telah ia lakukan—waktu, tenaga, uang—tiba-tiba tampak tidak berarti.
Rye memejamkan matanya, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. Tetapi, semakin ia mencoba, semakin kuat rasa frustrasi yang menyeruak. Ia merasa seolah-olah tenggelam dalam lautan kekecewaan, tanpa ada yang bisa ia raih untuk menyelamatkannya.
Teleponnya bergetar, notifikasi pesan dari Awan muncul di layar. "Lo udah sampai mana, Rye? Ada kabar baik?"
Rye memandangi pesan itu beberapa detik sebelum mengetik balasan, "Nggak ada yang berubah, Wan. Gue bener-bener nggak tahu harus gimana."
Awan, seperti biasa, mencoba memberikan semangat. "Lo nggak boleh nyerah, Rye. Ini memang berat, tapi lo udah sampai sejauh ini. Jangan sia-siakan semua yang udah lo perjuangkan."
Rye mendesah panjang. Kata-kata Awan seharusnya memberinya kekuatan, tetapi saat ini, dorongan itu terasa jauh dari jangkauannya. Ia menutup laptopnya dan berjalan menuju jendela apartemennya, memandang keluar ke arah kota yang sibuk. Di luar, kehidupan terus berjalan, tapi di dalam dirinya, Rye merasa dunia berhenti berputar. Semua stagnan, terjebak dalam ketidakpastian yang seolah tidak ada akhirnya.
"Pernah nggak, lo ngerasa semua yang lo lakuin sia-sia?" Rye akhirnya membalas pesan Awan. "Gue mulai ragu kenapa gue ngambil Ph.D. ini dari awal."