IBLIS BERTOPENG GURU BESAR

Rizki Ramadhana
Chapter #26

Tekanan Batin

Malam itu, Rye duduk di kamarnya dengan pandangan kosong mengarah ke layar laptop yang menyala. Draf penelitiannya terbuka, tetapi jari-jarinya berhenti di atas keyboard. Meski ia tahu harus terus bekerja, pikirannya terlalu penuh dengan kekhawatiran dan beban yang semakin menekan. Selama beberapa minggu terakhir, proses penyelidikan dari universitas berjalan lambat, dan Tossy masih menghindar dari tanggung jawab sebagai promotor.


Pikiran Rye berputar tanpa henti, menimbang setiap langkah yang telah ia tempuh. Ia mencoba mengingat kembali saat pertama kali ia memulai perjalanan ini—penuh semangat dan harapan besar untuk menyelesaikan program doktoralnya. Namun, kini, semua semangat itu terasa jauh, tenggelam di tengah frustasi dan tekanan mental yang terus membayangi.


"Apa gue bisa bertahan?" Rye bergumam pelan pada dirinya sendiri. Ia merasa semakin sulit untuk menjaga fokus dan motivasi, sementara masalah dengan Tossy terus menumpuk tanpa penyelesaian. Bahkan dengan dukungan dari Profesor Andika dan universitas yang mulai menanggapi laporannya, beban mental yang ia rasakan seolah-olah tidak pernah berkurang.


Rye mencoba menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Namun, setiap kali ia mencoba untuk tenang, perasaan cemas dan tidak berdaya terus menyeruak ke permukaan. Seolah-olah ada sesuatu yang mengikat hatinya, membuatnya merasa terkunci dalam situasi yang tidak bisa ia kendalikan.


Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Awan.


Awan: “Rye, lo nggak apa-apa? Gue denger dari kampus lo masih ribet sama kasus Tossy.”


Rye mengetik balasan singkat. Rye: “Masih sama, Wan. Tossy makin menghindar, dan gue makin nggak tahu harus ngapain. Penelitiannya tertunda terus.”


Tak lama kemudian, Awan membalas. Awan: “Gue ngerti, Bro. Ini memang berat. Tapi lo harus tetap bertahan. Jangan sampai tekanan ini bikin lo berhenti.”


Rye terdiam, membaca pesan Awan. Kata-kata itu menenangkan, tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa bertahan bukan hal yang mudah. Tekanan mental yang ia alami semakin berat setiap hari, dan Tossy tampaknya terus-menerus menghindari tanggung jawabnya sebagai promotor. Setiap kali Rye mencoba menghubungi Tossy, balasan yang ia dapat hanyalah alasan atau penundaan.


Di tengah kekacauan ini, Rye merasa kehilangan kendali. Bukan hanya soal penelitiannya yang tidak maju, tetapi juga tentang perasaannya sendiri. Ia mulai meragukan kemampuannya untuk melanjutkan semua ini.

Lihat selengkapnya