Hari-hari setelah pertemuan rahasia di kafe menjadi titik balik bagi Rye dan teman-temannya. Dengan semangat baru, mereka mulai merencanakan aksi kolektif untuk membawa masalah yang mereka hadapi ke tingkat yang lebih tinggi. Masing-masing dari mereka mulai mengumpulkan bukti, sementara Nara memimpin koordinasi untuk membuat petisi yang akan diajukan kepada universitas.
Di sebuah ruangan diskusi di perpustakaan kampus, Rye duduk bersama Nara, Mira, Dimas, dan beberapa mahasiswa lain yang juga menghadapi masalah serupa dengan promotor mereka. Ruangan itu penuh dengan energi, tetapi juga ketegangan. Mereka semua tahu bahwa apa yang mereka lakukan ini berisiko, tetapi tekad mereka sudah bulat.
“Kita sudah kumpulkan semua bukti dari kalian,” kata Nara membuka percakapan. Di hadapannya ada laptop yang menampilkan draft petisi yang telah ia susun bersama Rye dan Mira. “Sekarang kita harus membuat petisi ini resmi dan meminta universitas untuk segera melakukan investigasi penuh. Kita nggak bisa lagi nunggu.”
Mira, yang duduk di sebelah Nara, menambahkan, “Petisi ini nggak cuma untuk kita. Kita juga bakal minta mahasiswa lain yang merasa dirugikan untuk ikut tanda tangan. Semakin banyak dukungan, semakin kuat suara kita.”
Rye mengangguk, matanya tertuju pada layar laptop. “Gue rasa ini langkah yang tepat. Kalau kita bawa ini sendirian, mungkin universitas nggak akan menganggapnya serius. Tapi kalau kita punya dukungan luas, mereka nggak bisa tutup mata lagi.”
Dimas yang lebih pendiam, tetapi selalu mendukung, bertanya, “Kita punya rencana cadangan nggak? Maksud gue, kalau universitas tetap nggak merespons, apa kita harus bawa ini ke media atau pihak luar?”
Nara menatap Dimas sejenak sebelum menjawab. “Gue rasa itu opsi terakhir, Dim. Tapi untuk sekarang, kita fokus dulu dengan internal kampus. Kalau ini nggak berhasil, baru kita pikirkan langkah berikutnya.”
Percakapan terus berlangsung, dan mereka semua sepakat untuk mulai menyebarkan petisi secara online melalui jaringan mahasiswa. Rye merasa bahwa langkah ini adalah aksi kolektif paling nyata yang pernah ia lakukan. Sebelumnya, ia merasa sendirian, terjebak dalam masalah yang seolah tidak ada ujungnya. Tetapi kini, dengan adanya dukungan dari teman-temannya, ia merasa lebih kuat.
Setelah semua hal teknis disepakati, mereka mulai menyebarkan petisi di berbagai grup mahasiswa dan platform media sosial kampus. Judul petisi mereka sederhana tetapi kuat:
"Tegakkan Keadilan Akademik: Investigasi Promotor yang Bermasalah!"
Di dalam petisi itu, mereka menjelaskan bahwa beberapa mahasiswa mengalami kelalaian dari promotor mereka, yang menyebabkan penundaan dalam penelitian dan program akademis mereka. Mereka meminta pihak universitas untuk melakukan investigasi penuh terhadap promotor yang dilaporkan, termasuk Tossy.