Ibu, 150 Hari

Artie Ahmad
Chapter #2

Menuju Akhir Desember, Tahun Lalu

Gawai milikku berdering pagi itu. Aku mengira itu dari Mirna, kepala editor di kantor, ternyata bukan. Nama Demas terlihat di layar. Dengan malas aku mengangkat telepon kakak sulungku itu.

“Hallo ....” 

Demas tak menjawab sapaanku, suaranya yang kaku itu terdengar. 

“Ibu jatuh, Lin. Sekarang di rumah sakit ... Kamu pulang deh!” 

Aku tercekat. Ibu jatuh? Kenapa bisa jatuh? Jatuh di mana? Semua itu berkelebat di kepalaku, tapi sedikit susah kuucapkan. 

“Jatuh di mana?” 

“Di rumah!” suara Demas masih sekaku tadi. Namun kali ini sedikit meninggi. “Kamu pulang!” 

Aku mengusap wajahku. 

“Aku belum bisa pulang. Pekerjaanku masih banyak!” 

“Terus Ibu bagaimana, Lin?! Siapa yang menjaga?”

“Mbak Uut bagaimana?” 

“Uut sibuk. Dia kerja juga ngurus anak.” 

Aku tak menemukan jawaban. Pulang ke rumah bukan perkara gampang. Liburku baru jatuh di akhir tahun, itu juga cuma dua hari. 

“Mbak Nilam? Apa bisa bantu menjaga Ibu?” 

Tak segera ada jawaban di seberang. Tapi aku masih mendengar napas Demas. 

“Dia tidak bisa lama-lama mengurus Ibu. Ya tahu sendiri kan? Nilam juga sudah menikah, anaknya tiga. Hanya kamu yang bisa mengurus Ibu. Belum menikah, nggak ada tanggungan!”

Aku memejamkan mata. 

“Aku usahakan pulang.” 

Hanya itu yang bisa kuucapkan. Telepon terputus, Demas menutup telepon bahkan tanpa kata penutup. 

Mirna duduk di kursi kerjanya. Wajahnya mengerut. Bibirnya terkatup rapat sedangkan matanya tak lepas dari layar laptop di depannya. 

“Progres penulis yang kamu pegang bagus nih. Maksudnya naskah yang kamu pegang ....” Mirna melihat ke arahku. 

“Jadi bagaimana? Sudah selesai kan?” aku menegakkan punggungku. 

“Selesai. Tinggal masuk ke layout, tapi sebelumnya kuberikan dulu ke pemeriksa aksara.” 

“Kalau begitu aku bisa libur?” 

“Boleh. Dua hari ya, Lin.”

“Aku mau pulang kampung, Mbak. Minta tambah hari ya?”

Mirna menghela napas. 

“Ada jadwal ketemu klien lho, Lin. Sekarang sih masih di luar negeri. Prospeknya bagus nih, orang terkenal, kaya juga ....” 

“Ibuku sakit, Mbak. Aku harus pulang ....” 

“Sakit apa?” dahi Mirna mengernyit. 

Lihat selengkapnya