Semuanya berjalan seperti yang kuharapkan. Ibu jauh lebih sehat. Setiap pagi kegemarannya jalan santai, menyirami bunga di halaman depan dan samping rumah. Selain kegiatan itu, kegemaran Ibu lainnya tak lain membuatkanku secangkir kopi panas di pagi hari.
“Kopimu, Lin. Sedikit gula.” Ibu menaruh secangkir kopi di meja makan.
“Jangan repot lho, Bu. Nanti Lilin bikin sendiri.”
“Bikin buat anaknya sendiri apa yang salah? Cuma bikin kopi kok.”
Ibu akan menjadi Ibu. Apa yang senang ia lakukan, akan selalu dilakukan. Menyiapkan makanan dan minuman kesukaanku salah satu hal yang sangat ia senangi. Tidak ada hari dia mengeluh tentang pekerjaan-pekerjaan itu. Seperti yang Ibu katakan, tugasku hanya cukup menemaninya. Usia Ibu yang tak muda lagi membutuhkan teman berbincang.
Sore itu hujan turun dengan lebat. Sangat lebat diiringi angin kencang. Dari balik jendela rumah aku melihat keluar rumah. Ranting pohon rambutan di halaman depan bergoyang-goyang terlihat menakutkan. Tak jauh dari pokok rambutan, rumpun bambu kuning juga bergoyang-goyang hebat. Tak berselang lama, satu batang bambu patah.
“Bambunya patah, Bu...”
Ibu duduk di kursi tak jauh dariku, buru-buru Ibu berdiri, turut melongok keluar.
“Aduh! Kena angin itu!”
“Besok panggil Malih saja. Biar bambu-bambu itu dibersihkan saja. Khawatir juga kalau ada ular bersarang di sana.”
“Jangan ditebang habis dong! Itu kan bambu tinggalan bapakmu. Dulu bapakmu yang menanam bambu-bambu itu, katanya bisa jadi tolak balak.”
Aku terdiam. Aku sudah lupa kapan almarhum Bapak menanam pohon bambu kuning di depan rumah itu. Seingatku sudah lama sekali. Bukan sekali dua kali ditemukan ular di sana. Tapi Ibu selalu bersikukuh melarang bambu-bambu ditebang.
“Kalau begitu biar dirapikan saja.” Ucapku setelah memikirkan jalan terbaik.
“Ya, rapikan saja. Utamanya yang tumbang itu, tapi jangan dibabat semua!”
Ibu kembali duduk di sofa kesayangan. Sofa ruang tengah yang nyaman, sangat strategis saat menonton televisi. Ibu kembali menyulam, salah satu hobinya ketika memiliki waktu luang seperti saat ini.
Parang Malih menghantam bambu kuning di depan rumah. Bunyi kerosak kemudian terdengar. Aku berdiri di beranda samping, mengamati Malih bekerja. Beranda itu langsung menghubungkan ke dapur.
“Ingatkan Malih, Lin. Jangan ditebang semuanya.” Ibu kembali mengingatkan menyoal bambu kuning kesayangannya.
“Iya, Bu. Tadi Malih sudah diberi tahu.”
Aku menoleh ke dalam, Ibu sedang duduk di meja makan. Ada secangkir teh di depannya. Kemudian aku kembali mengamati Malih yang masih merapikan daun-daun bambu kuning.
“Yang bawah itu bersihkan sekalian ya, Lih. Ngeri aku kalau sampai jadi rumah ular!” Aku bersandar di tiang rumah.
“Beres, Mbak. Aman kok, tidak ada ular satu pun.” Malih mencongkel daun-daun di tengah rumpun bambu dengan parang.
Malih tetangga belakang rumah. Kalau ada pekerjaan bersih-bersih pekarangan, dia yang kami panggil untuk membantu. Selagi Malih meneruskan pekerjaannya, aku kembali masuk ke dalam. Ibu sedang duduk tertegun, matanya menatap teh di depannya dengan terheran-heran.
“Ada apa, Bu?” Aku duduk di dekat Ibu.
“Teh ini rasanya kok nggak enak ya, Lin. Agak beda.” Ibu mengangkat cangkir teh-nya.
“Lho kenapa memang? Ibu kasih apa?”
“Ya cuma teh dan gula to.”
Aku mengambil cangkir teh Ibu, kucicip sedikit. Asin sekali.
“Ini bukan gula yang dicampur, Bu? Tapi ini garam. Asin!”