Pagi-pagi Ibu membuatku terperanjat dengan teriakannya. Ibu membanting sebuah panci. Aku tertegun melihat kemarahan Ibu. Wajah Ibu masih terlihat jengkel. Lalu kemudian wajah Ibu berubah seperti biasanya. Ibu duduk di kursi meja makan dengan badan gemetar.
“Ada apa, Bu?” aku mendekati Ibu dengan hati-hati.
“Tidak apa-apa.” Wajah Ibu kembali membeku. Napasnya sedikit tersengal.
Aku mengulurkan segelas air putih. Ibu menerimanya dan meneguk sedikit.
“Ibu sakit?” tanyaku lagi.
“Apa Ibu kelihatan sakit?” Ibu menoleh dengan wajah sungguh-sungguh. Ada gurat marah di wajahnya.
“Kalau Ibu tidak enak badan. Kita bisa periksa ke dokter.”
Ibu mengamatiku dengan tatapan jengkel.
“Kamu itu setiap hari hanya menyuruh Ibu periksa ke dokter! Kamu kira Ibu ini penyakitan!”
Untuk sementara waktu aku terdiam. Aku sedang menerka-nerka mengapa Ibu harus semarah itu. Akhirnya aku memilih untuk tidak meneruskan obrolan kami di pagi itu. Ibu kemudian melakukan pekerjaan rumah. Selagi aku mencuci baju, aku melihat Ibu menyirami tanaman di taman kecil samping rumah. Wajah Ibu tidak secerah biasanya, ada mendung di sana.
Semuanya benar-benar terjadi seperti yang kutakutkan malam harinya. Ibu pingsan setelah makan malam. Aku mencoba menelpon Demas, tapi sulit tersambung. Di tengah usahaku membangunkan Ibu, aku menelpon Nilam. Tersambung... Suara Nilam begitu lembut saat mengangkat teleponku, lalu hanya sekian detik suara di seberang telepon berubah menjadi cemas. Aku memintanya segera datang. Selagi menunggu kakakku datang, aku berusaha mencari nomor telepon rumah sakit terdekat, begitu dapat dan tersambung, segera aku meminta bantuan ambulans agar menjemput Ibu.
Ibu belum tersadar dari pingsan sampai Nilam datang, tak lama ambulans juga datang. Kami buru-buru membawa Ibu ke rumah sakit. Keadaan Ibu tidak baik-baik saja, meski tak lama setelahnya Ibu siuman. Demas baru datang setelah Ibu siuman. Tak ada rasa bersalah di wajahnya. Demas datang bersama Uut, dari pakaian mereka tentu baru saja dari sebuah acara.
“Bagaimana keadaan, Ibu?” Demas melongok ke dalam.
Nilam sedang berada di dalam, sedang aku duduk di depan kamar Ibu. Aku sedang menenangkan debar jantungku sendiri setelah melewati fase yang menegangkan tadi.
“Di dalam.” Sahutku tawar.
Demas dan Uut masuk ke dalam. Mereka berdiri di samping ranjang Ibu. Aku tak menemukan kecemasan yang berarti di wajah Demas dan Uut. Nilam juga terlihat tak setegang tadi.
Seperti dugaanku, malam ini pun aku harus sendiri menjaga Ibu.
“Aku harus pulang dulu, Lin. Besok pagi-pagi ke sini. Kasihan Mas Andi kalau menjaga anak-anak sendiri.” Nilam pamit pulang.
Tak berselang lama, giliran Demas dan Uut pamit. Alasannya sama juga, anak-anak mereka tak ada yang menjaga, sedangkan besok pagi Demas ada meeting penting di kantor. Ruangan Ibu menjadi hening. Ibu tertidur lelap, entah obat apa yang diberikan dokter tadi. Di dalam kamar rawat Ibu, aku hanya duduk di sofa sembari mengamati Ibu yang tertidur di ranjang rawat. Sebagai bungsu dan belum menikah, hal semacam ini pasti akan kuterima. Meski sebenarnya entah aku bisa menjalaninya atau tidak.
*
Hasil pemeriksaan tidak menyenangkan. Saat dokter mengatakan kemungkinan sakit yang di derita Ibu, wajah Nilam tak setenang biasanya. Dia bahkan menunduk menangis. Aku sendiri merasa bingung dengan apa yang disampaikan dokter. Ibu memang sudah menjalani MRI, tapi tentu kata dokter harus dilakukan pencitraan lebih dalam.
“Memangnya sakit apa itu, Dok?” aku bertanya setelah putus asa tak menemukan jawaban dari Nilam.
“Creutzfeldt-Jakob, ada kemungkinan penyakit itu. Tapi harus dilakukan pencitraan lebih dalam,” dokter itu malahan mengulangi penjelasannya tadi.
“Maksud saya itu penyakit apa?” aku sedikit tak sabar. Penyakit itu namanya susah dieja. Sulit dimengerti pula maksudnya apa.
“Gangguan saraf degeneratif. Penyakit ini menyerang otak penderitanya,”
“Dimensia? Alzheimer?” aku terbata.
“Dimensia efek dari penyakitnya. Hampir serupa dengan alzheimer, namun berbeda.”