Ibu, 150 Hari

Artie Ahmad
Chapter #6

Akhir Maret, Tahun Ini

Ibu jatuh dalam depresi. Hal itu sebenarnya sudah kuantipasi jauh hari, namun tetap tak dapat dielakkan. Nilam dan Demas tidak dapat banyak membantu. Sepulang dari rumah sakit, sebenarnya keadaan Ibu baik-baik saja. Ibu bahkan masih bisa membuat roti bolu. Katanya dia rindu masak di dapur kesayangannya. Selama Ibu memasak, aku selalu berada di dekatnya. Ibu terlihat kurang nyaman karena aku mengawasi setiap gerakannya, tapi bagaimana? Aku harus waspada kalau Ibu salah memasukkan sesuatu ke dalam adonan. Meski sampai tahap terakhir, Ibu tak melakukan kesalahan. 

“Lihat, Lin. Bolu Ibu jadi kan? Sudah dibilang, penyakit pikun itu hanya numpang lewat.” Ibu melepaskan bolu dari pemanggang.

“Iya. Bolunya seperti yang lama. Wangi!” Aku mengibas-ibaskan tangan di atas bolu.

“Lin, kadang itu Ibu percaya kalau dokter itu salah diagnosis, meski mereka pintar.” Ibu duduk, dikipasinya bolu yang masih panas itu dengan kertas nasi.

“Tapi Dokter Bambang itu dikenal kompeten lho, Bu.” 

“Ya kan biasanya seperti itu! Tapi waktu mengurus Ibu belum tentu!” 

Ibu masih terlihat sangat percaya diri. Namun itu tak berlangsung lama, ingatan Ibu mulai terganggu lagi. Ada beberapa hal yang dilupakan Ibu. Hal kecil, sampai hal lumayan besar. Ibu juga merasa terganggu dengan kerja motoriknya yang tidak baik. Tangan Ibu tiba-tiba tidak bisa menggenggam gelas saat minum. Gelas itu malahan jatuh ke lantai, pecah berantakan. 

“Kenapa tangan Ibu susah gerak?” gumam Ibu cemas. 

“Ibu harus istirahat.” Aku menuntuk Ibu duduk di sofa ruang tengah.

“Lin, apa ada yang salah?” 

Ibu menggerakkan telapak tangan kanannya. Aku duduk di samping Ibu. 

“Kalau Ibu merasa sakit, bilang saja ya, Bu. Ada obat dari Dokter Bambang.”

Ibu tidak menjawab. Dia hanya melihat telapak tangan kanannya. Tangan itu digerak-gerakkan. Wajah Ibu berubah muram. Pasti Ibu merasakan, tubuhnya benar-benar tidak sehat. Degradasi ingatan Ibu berkembang begitu pesat. Meski sejak awal diberi rambu-rambu semacam itu dengan Dokter Bambang, namun tetap saja aku kewalahan menghadapi sedangkan kedua kakakku tak bisa selalu berada di tempat. 

Ibu jatuh ke kubangan depresi saat menyadari bahwa dia benar-benar sakit. Pagi itu aku tidak mendapati Ibu di dapur seperti biasanya. Semua gorden kubuka, jendela samping dan dapur kubuka juga agar udara masuk. Ketel air mulai kujerang untuk membuat kopi panas. Aku melihat kamar Ibu, pintu masih tertutup. Perlahan aku mendekat, aku ketuk pintu kamar Ibu sekali, tidak ada jawaban.

“Bu? Sudah bangun?” aku kembali mengetuk pintu.

Tak ada jawaban. Hening. Aku membuka handle pintu, untungnya Ibu tidak mengunci dari dalam. Kulihat Ibu masih setengah berbaring di kasur. Rambutnya berantakan, mata Ibu menatap jendela kamar yang masih tertutup gorden dengan tatapan kosong.

“Ada yang Ibu rasakan? Sakit?” aku mendekat. 

Ibu tak menjawab. Bibirnya seakan terkunci. 

“Mau teh, Bu?” 

Diam. Tak ada jawaban. Mata Ibu masih saja menatap tempat yang sama. Aku hanya mengendikkan bahu karena bingung. Aku berdiri, kemudian kembali duduk di ranjang Ibu. Perlahan aku pegang tangan kiri Ibu. Kugoyang dengan lembut.

“Bu... Minum yuk!” 

Kali ini Ibu menoleh. Dia menatapku dengan tatapan yang baru kali ini kulihat. Aku belum pernah ditatap Ibu dengan tatapan seperti itu. Aku merasa merinding saat menyadari itu bukan tatapan mata Ibu. Tatapan itu begitu dingin, seolah tidak ada kehangatan. 

“Atau Ibu mau sarapan? Aku belikan bubur ayam?” 

Ibu masih terus menatapku. Wajahnya membeku. Aku mulai kebingungan. 

Lihat selengkapnya