Aku duduk di seberang Ibu. Ibu duduk di meja makan. Wajahnya terlihat cerah, segar habis mandi. Pakaian Ibu rapi. Wajahnya disapu make up tipis. Sebuah kamera mulai merekam.
“Sudah, Bu. Ibu bisa mulai.”
Ibu mengangguk.
“Utami Sudarmono. Namamu itu. Orang-orang suka memanggilmu Ut, sedangkan suamimu dulu memanggil dengan Dek Ut, dan anak-anakmu memanggilmu ibu...”
Ibu berhenti sebentar. Aku meneguk minuman dengan tangan dingin dan gemetar.
“Kamu itu ndilalah kok sakit, Ut. Sakit kepalamu, otakmu itu lho. Kata dokter ada penyakit yang membuatmu lupa. Nantinya, tidak lama lagi kamu akan benar-benar lupa, Ut. Kamu lupa siapa kamu, kamu lupa anak-anakmu!”
Ibu tersenyum. Getir.
“Anakmu ada tiga orang, Ut. Suamimu sudah meninggal, serangan jantung setelah pulang kerja. Anakmu yang sulung laki-laki, yang nomor dua perempuan, dan bungsumu juga perempuan. Tiga orang anak, kamu selalu percaya bahwa tidak mungkin melupakan anak-anakmu. Kamu sangat menyayangi anak-anakmu, Ut. Mana mungkin bisa lupa.”
“Anak sulungmu lahir 1 Januari, waktu tahun baru. Anak keduamu 3 Mei, dan yang bungsu tanggal 20 November. Sulung laki-laki bernama Demas Satrio Aji, kedua Nilam Purbasari, dan ketiga Lilin Ratri Handaru...”
Sampai di sini aku cukup takjub Ibu mampu mengingat semuanya dengan baik. Ibu meminta menyudahi rekamannya.
“Untuk sekarang sampai di sini, Lin. Besok ditambah lagi.”
Aku menurut. Rekaman Ibu segera kusimpan baik-baik di dokumen. Esoknya Ibu mengulangi hal sama. Rekaman kali ini Ibu membahas tentang kesenangan anak-anaknya, makanan kesukaan dan kegemaran mereka apa. Meski setelah melakukan rekaman, Ibu muntah-muntah di dalam kamar mandi. Ibu mengeluh sakit kepala. Saat itu juga aku menelpon Nilam, kuminta dia datang. Kami membawa Ibu kembali ke rumah sakit. Ibu kembali menjalani perawatan.
Kesadaran Ibu kurang baik. Kesehatan Ibu nge-drop. Badan Ibu lemas, tak bisa banyak gerak. Dokter Bambang segera memberikan obat untuk meringankan sakit di kepala Ibu. Malam itu aku kebagian menjaga Ibu seorang diri. Ibu tidak terlalu merepotkan, obat yang diberikan Dokter Bambang membuat Ibu bisa tidur nyenyak. Keesokannya Ibu sudah lebih.
“Sudah makan, Lin?” tanya Ibu begitu melihatku masuk ke dalam kamar setelah dari kantin membeli kopi panas.
“Sudah, Bu.” Aku memang sudah sarapan roti.
“Oh.”
Kemudian Ibu menonton televisi, acara berita pagi. Baru duduk tak sampai sepuluh menit, aku merasa ingin buang air kecil. Buru-buru aku masuk ke dalam toilet. Lega panggilan alam kecil kutuntaskan, aku keluar. Ibu menoleh ke arahku.
“Sudah makan, Lin?” Ibu mengulangi pertanyaannya.
“Sudah, Bu. Makan roti.” Jawabku dengan ragu-ragu. Ini kah fase lain yang dibilang dokter itu? Ibu benar-benar mengalami degradasi ingatan.
“Oh.”
Aku duduk di sofa. Ibu kembali melihat televisi. Tidak lama Nilam datang membawakan sarapan untukku. Jatah sarapan Ibu sudah diatur rumah sakit.
“Sudah enakan, Bu?” Nilam mencium pipi Ibu.
“Sudah. Dari mana?” Ibu menggenggam tangan Nilam.
“Dari rumah. Mas Andi titip salam, harus ke kantor pagi ini.”
Ibu mengangguk, kemudian termangu-mangu.
“Lam, coba tanya Lilin. Dia sudah makan belum?” Ibu menggamit lengan Nilam.
Nilam menoleh ke arahku. Aku hanya mengangkat bahu.
“Ibu sudah tanya untuk ketiga kalinya. Sudah kujawab juga. Aku sudah makan.”
Nilam menepuk punggung tangan Ibu.
“Lilin sudah makan, Bu.”
Ibu selalu mengulangi pertanyaan-pertanyaannya. Bahkan setelah pulang dari rumah sakit pun begitu. Mau tidak mau aku selalu menjawab pertanyaan Ibu. Ada waktu aku lelah mendengar pertanyaan yang diulang-ulang. Lelah juga menjawab dengan jawaban yang sama berkali-kali. Tapi kalau tidak dijawab, Ibu akan marah. Kepribadian Ibu memang perlahan berubah. Seringkali Ibu bertingkah seperti anak kecil. Seperti sore ini, Ibu berdiri di jendela depan rumah. Pintu memang terkunci. Ibu melihat ke depan, seolah menunggu sesuatu.
“Sedang apa, Bu?” aku mendekati Ibu yang masih melihat ke arah keluar.
Ibu menoleh, senyumnya mengembang.
“Nunggu penjual es.” Ucap Ibu dengan nada riang.
Namun penjual es tidak lewat. Saat yang ditunggu tidak datang, Ibu merajuk. Dalam menangani hal semacam inilah aku sering kebingungan. Ibu bahkan tidak segan merengek saat keinginannya tidak dipenuhi. Beberapa kali aku kelewat sabar, suaraku meninggi menenangkan Ibu. Meski cara itu tentu gagal. Ibu malahan terkejut, dia bahkan menangis. Sungguh memangnya sedang tak beruntung, saat Ibu menangis Demas muncul. Dia baru pulang kantor.
“Kenapa, Bu?” Demas duduk di sebelah Ibu.
Ibu segera memeluk Demas. Adegan sinetron pun terjadi. Ibu mengadu kepada Demas. “Lilin galak. Teriak-teriak ke Ibu...” Ibu sesenggukan.
Demas menoleh ke arahku dengan tatapan galak. Ada percik kemarahan di matanya. Kemudian dia menenangkan Ibu dan membawa Ibu ke kamarnya. Setelah memastikan Ibu beristirahat, Demas kembali menemuiku. Dilonggarkan ikatan dasinya.
“Kalau ngurus Ibu nggak usah galak-galak, Lin. Ibu itu sakit!”
Mendengar ucapan Demas, aku menaruh gelas minum separuh membantingnya di meja.
“Apa kamu pikir sejahat itu sama Ibu?”
“Nah buktinya! Ibu ngadu ke aku. Kamu itu kalau niat merawat yang sabarlah!”
Aku tertawa mendengarkan. Astaga, di mana saja orang yang tidak melakukan pekerjaan itu seperti Demas, seenak hatinya sendiri.
“Kalau kamu lebih sabar dan lebih bisa merawat, kenapa bukan kamu saja yang merawat Ibu? Buktikan dong kalau kamu bisa lebih baik. Rawat Ibu, kalau perlu ajak istrimu. Biar nggak sendirian kayak aku...”